05/01/2022

Dialog Tokoh Agama Wajo dengan Mantan Napiter

Aliansi Indonesia Damai – “Tiba-tiba suatu malam saya bermimpi tentang ibu saya. Malam kedua kembali bermimpi hal yang sama. Di malam ketiga mimpi yang sama dan bahkan semakin kuat. Saya menghubungi rumah dan kakak saya mengatakan bahwa ibu saya sudah meninggal.”

Choirul Ikhwan, mantan narapidana terorisme, mengenang momentum titik balik kehidupannya. Demi memburu cita-cita menjadi mujahid pembela agama, ia meninggalkan rumah setelah mengkafirkan keluarganya, termasuk ibunya. Akibat sepak terjangnya di kelompok ekstremisme kekerasan, Irul, sapaan  Choirul Ikhwan, menjadi buronan kepolisian. Ia bersembunyi di salah satu daerah di kepulauan Sulawesi.

Baca juga Mendorong Narasi Keagamaan yang Damai

Dalam masa persembunyian itulah sosok ibunda ‘mendatanginya’ melalui mimpi. “Pikiran saya mengatakan bahwa beliau adalah orang kafir. Tetapi di hati saya sangat mencintai beliau,” ujarnya saat menjadi salah satu narasumber Diskusi dan Bedah Buku La Tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya. Kegiatan dilaksanakan oleh AIDA bekerjasama dengan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu.

Irul sangat menyesal dan sedih karena belum sempat meminta maaf kepada ibunya. Ia menyadari, sekuat apa pun doktrin ekstremisme tak akan pernah mampu mengalahkan hubungan cinta kasih antara ibu dan anak. Kepergian ibunda seolah menjadi teguran keras dari Allah Swt agar dirinya memikirkan ulang keterlibatannya dalam ekstremisme kekerasan. Secara perlahan ia mengevaluasi pemahaman-pemahaman ekstrem yang selama ini diyakininya sebagai kebenaran mutlak.

Baca juga Ketua Baznas Wajo: Kisah Penyintas Menggugah Kemanusiaan

Ketika kembali ke Jawa, ia ditangkap aparat dan harus menjalani hukuman penjara. Di balik jeruji besi, ia banyak membaca buku karya ulama-ulama yang berpemahaman moderat dan membandingkannya dengan ajaran-ajaran ulama yang dianut kelompok ekstrem. “Saya bandingkan argumentasi mereka dengan yang selama ini saya dapatkan di dunia jihadis. Dari situ saya berproses sedikit demi sedikit untuk sembuh,” katanya.

Usai paparan Irul, beberapa pertanyaan muncul dari peserta. Salah satunya tentang bagaimana seharusnya masyarakat bersikap jika menemukan pengajian yang mengarah pada ekstremisme kekerasan. Menurut Irul, cara terbaik adalah dengan tidak langsung menilai dari penampilannya saja, namun harus dilihat dari ideologinya.

Baca juga Ketua MUI Sulbar: Jadilah Dai Ramah

Dalam pengalaman pribadinya, ketika bergabung dengan kelompok ekstrem, ia justru dituntut bisa berintegrasi secara sempurna ke dalam masyarakat agar tidak muncul kecurigaan. “Jadi memang tidak semua orang yang bercelana cingkrang dan bercadar itu bisa dikaitkan dengan terorisme. Itu pemahaman yang sangat salah,” katanya.

Lebih jauh ia menjelaskan, masyarakat memang cenderung melihat pengajian sebagai hal positif. Namun, harus cermat ketika mulai diajarkan tentang ashobiyah atau fanatisme golongan. Irul mencontohkan salah satu hadis Nabi Saw yang cukup populer, yakni tentang prediksi bahwa umat Islam akan terpecah ke dalam ke dalam 72 golongan dan hanya ada satu golongan yang selamat.

Baca juga Mencegah Ekstremisme dengan Literasi

Jika tidak kritis, masyarakat bisa terjebak dalam fanatisme sempit dan mengklaim bahwa hanya kelompoknya yang benar, adapun lainnya sesat. “Doktrin ashobiyah, keyakinan bahwa kita saja yang benar dan orang lain salah, itu apakah bisa dibenarkan,” katanya.

Pertanyaan lain dari peserta adalah terkait faktor-faktor yang mendorong orang terjerumus dalam ekstremisme. Dalam pengalaman Irul, keterlibatannya dalam kelompok ekstremisme diawali dengan lemahnya pemahaman agama, sehingga terlalu mudah untuk dimasuki pemahaman agama Islam yang literal.

Baca juga Dialog Tokoh Agama Sulbar dengan Ahli Jaringan Terorisme

“Kalau dakwah yang literal itu kan lebih mudah diterima oleh orang yang kurang pemahamannya tentang Islam. Dari situ banyak yang akhirnya tertarik. Kemudian ada faktor pendukung lain, misal kecemburuan sosial atau kebencian terhadap pemerintah dan sebagainya. Ada juga faktor ekonomi,” katanya. [WTR]

Baca juga Menangkal Ektremisasi di Medsos

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *