Pesan Perdamaian untuk Generasi Muda Bangsa
“Manusia tidak dibenarkan untuk membunuh seenaknya. Membunuh satu jiwa adalah membunuh seluruh umat manusia.”
Aliansi Indonesia Damai- Pernyataan itu disampaikan oleh Kurnia Widodo dalam acara Dialog Interaktif bertema “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di SMAN 1 Leces, Probolinggo, Selasa (6/8). Dalam kegiatan yang diselenggarakan AIDA tersebut, Kurnia sebagai seorang mantan pelaku terorisme, berpesan kepada generasi muda agar senantiasa melestarikan perdamaian.
Kurnia menceritakan pengalaman hidupnya yang pernah terjerumus ke dunia terorisme. Awalnya, ia merasa tertarik saat diajak berdiskusi tentang isu keagamaan oleh temannya semasa SMA. Ia kemudian mengikuti kajian keagamaan yang eksklusif. Seiring waktu, pemikiran ekstrem yang melegalkan kekerasan untuk memperjuangkan kepentingan agama terbentuk di pikirannya. Saat merantau ke Bandung untuk kuliah, ia sempat memanfaatkan pengetahuannya di bidang kimia untuk membuat dan menguji coba bahan peledak.
Ia dan teman-teman sesama anggota kelompok teroris jaringan Bandung pernah merencanakan untuk melakukan aksi teror di beberapa tempat. Ia mengaku pernah berniat meledakkan bom di kedutaan sebuah negara asing di Jakarta. Namun, sebelum niatnya benar-benar terwujud, ia terlebih dahulu ditangkap oleh aparat keamanan. Ia pun diadili dan dihukum lantaran keterlibatannya dengan kelompok teroris.
Baca juga Dari Jalan Kekerasan, Menjadi Duta Perdamaian
Di balik jeruji besi, Kurnia mulai berpikir kritis tentang ajaran yang dulu ia anut. Ia sempat beberapa kali berdebat dengan sesama narapidana kasus terorisme, termasuk dengan mantan teroris yang telah menyadari kesalahannya dan kemudian bertobat. Sedikit demi sedikit ia mulai menerima pemahaman baru yang sangat bertentangan dengan ajaran kelompoknya dahulu. Salah satunya, ia menyadari kekeliruan doktrin kelompoknya yang begitu mudah menganggap orang lain sebagai kafir.
Setelah keluar dari penjara Kurnia dipertemukan dengan korban terorisme, salah satunya saat difasilitasi oleh AIDA dalam sebuah kegiatan. Melihat penderitaan korban, ia mengaku menyesal atas sepak terjang masa lalunya dalam kelompok teroris. Setelah bertemu korban, ia mengaku tersadar bahwa dampak yang diakibatkan dari aksi teror telah melukai orang-orang tak bersalah. “Selama ini kelompok kami tidak pernah memperkirakan dampaknya untuk rakyat sipil,” tuturnya.
Kurnia mengaku bahwa empatinya sebagai manusia biasa langsung timbul setelah menyimak korban yang menuturkan penderitaan akibat tragedi teror. “Saya merasa bersalah dan meminta maaf setulus-tulusnya atas nama ikhwan,” ujarnya.
Di samping Kurnia, acara Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di SMAN 1 Leces juga menghadirkan pembicara lain. Di antaranya adalah Reni Agustina, korban tidak langsung Bom Kuningan 2004.

Reni berbagi kisah tentang saudara laki-lakinya, Martinus Sitania, yang menjadi korban meninggal dunia dari ledakan bom di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan pada 9 September 2004 silam. Ia dan keluarganya tidak hanya kehilangan tulang punggung keluarga, namun juga kasih sayang yang tulus dari seorang kakak kandung.
Meskipun demikian, Reni dan keluarga tetap berusaha tabah atas musibah yang terjadi. Ia memilih untuk memaafkan pelaku dan orang-orang yang pernah terlibat terorisme seperti Kurnia. Ia mengharapkan, dengan memaafkan bisa terbangun perdamaian. Menurutnya, perdamaian begitu penting bagi kehidupan setiap orang. “Seberat apa pun masalah, kita harus saling memaafkan. Kita ikhlas dan mendoakan pelaku agar mereka sadar bahwa yang mereka lakukan tidak benar dan telah merugikan banyak orang,” katanya.
Reni dan Kurnia adalah potret bagaimana korban dan mantan pelaku terorisme bisa saling menjalin rekonsiliasi demi perdamaian Indonesia. Dari pengalaman masing-masing, Reni dan Kurnia menekankan kepada siswa-siswi SMAN 1 Leces sebagai generasi muda bangsa agar selalu menjaga kedamaian. Mereka mengharapkan generasi muda mampu mengambil pembelajaran dari semangat perdamaian korban dan mantan pelaku terorisme.
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, dalam kegiatan tersebut mengatakan bahwa di era kekinian tantangan bagi generasi muda makin kompleks. Di antara tantangannya adalah begitu masifnya media sosial memengaruhi kehidupan masyarakat. “Banyak tantangan di sosial media yang secara tidak sadar dampak negatifnya bisa kita rasakan, di mana juga bisa berdampak kepada kehidupan kita. Misalnya, budaya kekerasan bisa dipelajari dari sosial media,” kata dia. [NOV]
Baca juga “Bukan karena Teroris Kakakmu Nggak Ada”