Berkisah: Metode Psikologis Atasi Trauma Korban Bom
Kejahatan terorisme selalu memberikan dampak besar secara psikologis bagi korban. Kehilangan tidak akan pernah menjadi sesuatu yang mudah bagi korban langsung maupun tidak langsung. Kehidupan yang semula baik-baik saja mendadak berubah setelah musibah menimpa. Bagi korban langsung, ada yang mengalami luka bakar hingga kehilangan fungsi anggota tubuh, bahkan cacat secara permanen. Mereka tidak akan lagi melewati hari-harinya seperti biasa. Ada yang kehilangan pekerjaan, kehilangan kepercayaan diri, atau terpaksa harus menjalani pengobatan seumur hidup.
Bagi korban tidak langsung, kehilangan orang yang disayang juga akan menimbulkan goncangan batin yang luar biasa. Akan ada anak-anak yang tumbuh menjadi yatim/piatu maupun bapak/ibu yang terpaksa menjalani peran ganda dalam kehidupan rumah tangga. Beban tambahan berupa tekanan hidup juga dirasakan mereka yang belum mendapatkan kompensasi yang dijanjikan pemerintah.
Hal-hal demikian adalah permasalahan psikologis yang tentu butuh penanganan khusus. Jika tidak, maka trauma yang dirasakan korban bisa terjadi seumur hidup. Padahal trauma psikis dapat memengaruhi berbagai aspek, mulai dari fisik, mental, perilaku dan interaksi sosial. Bukan hanya itu, kemarahan korban atas apa yang menimpanya juga bisa memantik dendam yang tidak berkesudahan.
Baca juga Musibah Tak Lepas Dari KehendakNya
Salah satu model terbaik untuk mengurangi trauma tersebut adalah dengan bercerita atau berkisah. Bercerita bisa menjadi salah satu metode untuk mengekspresikan perasaan atau emosi. Untuk sampai pada tahap pemaafan, seseorang harus mampu mengekspresikan perasaannya secara penuh. Bercerita dapat memberikan efek kelegaan dalam diri karena mampu melepaskan emosi yang tertahan. Untuk itulah dialog sangat dibutuhkan untuk menggali emosi terpendam agar mampu disalurkan dengan baik.
Antara Korban dan Mantan Pelaku
Model dialog dan berkisah ini juga diterapkan oleh Yayasan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) pada saat melakukan rekonsiliasi antara korban dan mantan pelaku terorisme. Hal ini dialami salah satu korban Bom Bali 2002 Ni Luh Erniati (Erni) saat dipertemukan dengan Ali Fauzi, salah satu mantan narapidana terorisme, yang juga adik Amrozi (pelaku bom Bali). Mereka berdua (korban dan pelaku) saling berbagi kisah dari sudut pandang masing-masing.
Bom Bali 2002 merenggut nyawa suami Erni. Ia kehilangan belahan jiwa dan cinta sejatinya serta harus membesarkan anaknya seorang diri. Bagi Erni, hal itu tidaklah mudah. Erni mengaku hampir tiap hari menangisi kepergian suaminya. Ia juga beberapa kali menjalani konseling dengan psikolog untuk meredakan rasa kehilangan dan trauma batinnya. Dalam salah satu kegiatan AIDA, Erni menyampaikan, ia mampu berdamai dengan diri sendiri dan memaafkan Ali Fauzi setelah mendengar kisah yang disampaikan yang bersangkutan.
Baca juga Malam Kebersamaan Tim Perdamaian
Model ini sesuai dengan yang disampaikan Worthington (1998) tentang sikap memaafkan yang setidaknya ada dua proses. Yang pertama adalah Recall The Hurt atau mengingat ulang luka. Pada fase ini, korban diminta untuk mengingat kembali pengalaman yang menyakitkan. Korban diminta untuk bercerita tentang luka batin yang dialaminya dan dibantu agar sedapat mungkin mampu mengendalikan diri. Yang kedua adalah Empathize with the One Who Committed the Hurt atau berempati. Langkah kedua ini, merupakan upaya untuk mengajak korban memikirkan apa yang dirasakan pelaku kejahatan setelah ia berbuat.
Hal itulah yang dirasakan Erni. Ia merasa lega karena bisa menyampaikan beban batin yang selama ini membelenggu dirinya kepada Ali Fauzi. Bukan hanya itu, Erni juga merasa berempati mendengar yang disampaikan oleh Ali Fauzi sehingga merasa tergerak untuk memaafkan dan berdamai. Sebaliknya, Ali Fauzi pun sangat menyesali perbuatannya setelah mendengar kisah Erni.
Perasaan Lega
Kekuatan kisah terbukti mampu menjadi jembatan untuk menyatukan korban dan mantan pelaku. Kisah yang disampaikan mampu menembus sumbatan-sumbatan yang menyesakkan jiwa masing-masing. Memang, berkisah atau bercerita biasanya tidak akan mudah dilakukan oleh orang-orang yang baru saja mengalami trauma atau kemarahan yang mengendap. Untuk itulah perlu bantuan orang-orang terdekat dan pihak khusus untuk terus mendampingi mereka.
Pasalnya, orang-orang yang mengalami gangguan psikologis pada dasarnya hanya butuh didengar. Pada beberapa kesempatan lain, dalam rangka menebarkan perdamaian di Indonesia, AIDA menghadirkan korban aksi teror dengan pelaku untuk sama-sama berbagi kisah di berbagai sekolah di Indonesia. Pengalaman korban menghadapi musibah dan masa sulit pasca aksi teror mengandung pelajaran berharga yang patut diserap dan diteladani.
Inisiatif AIDA dalam mengampanyekan perdamaian Indonesia melalui kisah inspiratif korban menjadi pilihan yang sangat tepat bukan hanya untuk menebar virus perdamaian, melainkan juga membantu korban untuk semakin meredakan trauma yang dirasakan. Selain itu , hal tersebut juga mampu mengembalikan kepercayaan diri mereka. Semakin sering mereka bercerita, semakin menjadi kuat pula kondisi kejiwaannya sehingga tahap penerimaan pun semakin mudah dilakukan.
Sebagai korban bom yang mengalami luka batin begitu dalam, Erni merasakan manfaat berbagi cerita di sekolah-sekolah ataupun kesempatan lain bersama AIDA. Yaitu bisa meredakan luka yang selama ini menjadi beban.
Baca juga Keakraban, Kedamaian dan Pesona Bromo
”Proses penyembuhan ini sangat panjang. Saat awal bertemu AIDA saya kondisinya masih labil. Kemudian saya ikut pergi ke sekolah bertemu anak-anak. Saya ceritakan apa yang terjadi dengan saya. Dari sekian kali saya cerita saya merasa perasaan saya lebih lega. Beban yang ada dalam diri saya waktu itu perlahan hilang dan berkurang setelah berbagi kisah dengan anak-anak dan orang yang saya temui.” Ini disampaikan Ni Luh Erniati saat menghadiri Peringatan 15 tahun Bom Kuningan di Jakarta 22 September 2019.
Bukan hanya itu metode berkisah juga menjadi metode efektif dalam hal menebar perdamaian. Komunikasi melalui proses penceritaan atau kisah mampu menciptakan suatu koneksi antara pendengar dan pencerita. Hal tersebut akan membuat pedengar dan pencerita memiliki suatu keterlibatan emosi. Kisah korban menjalani cobaan hidup hingga mampu berdamai dengan keadaan dan memaafkan pelaku aksi teror tanpa menyimpan dendam akan memberikan inspirasi bagi siapa saja yang mendengarnya.
Metode bercerita/berkisah bukanlah sebuah metode yang bisa dianggap remeh. Bercerita adalah terapi sederhana yang mampu menyembuhkan. Bercerita mampu menjadi jalan untuk menjalin dan memperbaiki hubungan dengan orang lain. Bercerita memiliki kekuatan yang sangat ampuh dalam membentuk suatu pandangan dan menggerakkan orang lain dalam berbuat sesuatu. Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa cerita-cerita korban aksi terorisme sangat dibutuhkan untuk berkontribusi membangun perdamaian.
Baca juga Mendalami Makna Perdamaian
2 Comments