Kasih Sayang yang Tak Pantas Dinafikan
Aliansi Indonesia Damai – ”Berpikirlah positif tentang keluarga dan jangan pernah meragukan kasih sayangnya.” Begitu kalimat yang disampaikan Choirul Ihwan, salah satu mantan anggota jaringan terorisme yang telah bertaubat dan membersamai AIDA dalam beberapa kesempatan mensyiarkan perdamaian.
Choirul yakin, setiap orangtua pasti mencintai anak-anaknya. Hanya saja terkadang mereka tidak bisa mengungkapkan rasa cintanya. Atau yang banyak terjadi, ungkapan cinta itu tidak mudah dipahami oleh anak. Tapi pada hakikatnya, orangtua mempunyai cinta yang sangat besar dan pasti selalu menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Satu hal yang pernah disesalkan Choirul dalam hidupnya adalah, dia pernah meragukan kasih sayang kedua orang tuanya. Keraguan itulah yang menjadikannya sempat tersesat kepada jalan kekerasan.
Baca juga Mendengar Pertaubatan Mantan Pelaku Terorisme, Tokoh Agama Tersentuh
Merasa tidak dicintai oleh keluarga, Choirul muda menjadi lebih senang berkumpul dengan teman akrabnya yang juga merupakan anggota sebuah partai dakwah. Dari teman inilah dia sedikit demi sedikit mendapatkan pengetahuan tentang perjuangan jihad hingga bergabung ke dalam kelompok mereka. Merasa mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang besar juga solidaritas yang kuat dari kelompok tersebut membuat Choirul semakin mantap dengan pilihan hidupnya saat itu.
Setelah sekitar dua tahun bergabung dalam partai dakwah, Choirul memutuskan beralih ke sebuah kelompok pengusung khilafah. Namun setelah setahun berlalu, dia bergabung dengan kelompok lain yang menurutnya secara doktrin dan pemikiran lebih sesuai dengan prinsipnya kala itu.
Choirul sempat vakum dari organisasi tersebut pada tahun 2005. Saat itu dia memilih berkonsentrasi bekerja di sebuah agen bus pariwisata. Namun justru pada saat itulah semangat keislamannya bergejolak setelah mendapatkan buku tentang jihad dan mengikuti perkembangan peristiwa dunia. Dia mengaku, pada saat itulah puncak tertinggi tingkat ekstremisme dalam hidupnya.
Baca juga Kisah Korban dan Mantan Pelaku: Role Model Rekonsiliasi
Pada tahun 2008, atas inisiatif sendiri, Choirul mencari jamaah jihad underground melalui media sosial. Hingga pada akhirnya ia bertemu dengan kelompok Jamaah Taliban Melayu. Setelah bergabung dengan kelompok inilah, ia berani mengkafirkan seluruh anggota keluarganya. Dengan menyampaikan kepada mereka bahwa memilih seorang pemimpin melalui pemilu adalah salah satu bentuk kekafiran. Karena menurutnya hal itu sebagai bentuk ketundukan pada sistem yang dibuat manusia. Baginya, manusia hanya boleh tunduk pada sistem yang dibuat oleh Tuhan.
Titik Balik
Pada tahun 2009, Choirul memutuskan pergi dari rumah untuk menyerahkan jiwa dan raga sepenuhnya di jalan jihad. Dia juga berjanji untuk tidak akan kembali lagi. Tugas pertamanya adalah mengikuti pelatihan di Junto Aceh 2010.
Namun pelatihan gagal karena sudah diketahui pihak berwajib. Choirul lantas berpindah ke Jakarta. Pada tahun yang sama, dia mendapatkan tugas untuk mengadakan pelatihan jihad tamkin di Magetan.
Baca juga Tiga Pesan Damai Mantan Ekstremis untuk Generasi Muda
Upaya tersebut digagalkan oleh tim Densus 88. Choirul kemudian melarikan diri ke beberapa tempat di Provinsi Jawa Barat hingga kemudian melarikan diri ke Sulawesi.
Pada saat itu terjadi perdebatan di dalam kelompok ekstrem tersebut. Choirul pun menarik diri dari konflik, dan sejak saat itulah tingkat ekstremismenya mulai menurun.
Pada saat bersamaan, sosok ibu yang telah lama Choirul tinggalkan dan abaikan tiba-tiba hadir ke dalam mimpinya. Awalnya dia menganggap hal itu hanyalah kebetulan saja dan hanya menguji kekuatan iman di jalan jihadnya.
Namun Choirul semakin gusar tatkala mimpi itu berulang pada dua malam berikutnya. Dalam mimpi itu sang ibu menangis. Dia merasa seperti nyata, bahkan di malam ketiga mimpi itu berlangsung lebih lama.
Baca juga Mukhtar Khairi, Makin Mantap Meninggalkan Ekstremisme Setelah Bertemu Korban
Keesokan harinya, Choirul memutuskan untuk keluar dari hutan tempatnya bersembunyi menuju ke kota untuk mencari sarana yang bisa digunakan untuk menelepon keluarga. Informasi yang disampaikan keluarga membuatnya shock, ternyata ibunya telah meninggal dunia beberapa jam sebelumnya.
Choirul juga baru mengetahui bahwa ternyata sejak kepergiannya, sang ibu sakit-sakitan dan selalu menanyakan keberadaan dirinya hingga akhir hayat. Hal itu membuatnya terguncang. Anggapan tentang keluarga yang tidak ada kasih sayang untuknya pun runtuh seketika.
Kerinduan mendalam hingga akhir hayat yang dialami sang ibu untuk anaknya yang pergi lama tanpa kabar menyadarkan Choirul bahwa ternyata cinta itu ada. Namun selama ini dia alpa untuk memahaminya.
Baca juga Titik Balik Mantan Pelaku ke Jalan Damai
Choirul lantas mencoba berpikir kritis dan mulai mengkaji kembali doktrin-doktrin yang dia dapatkan selama ini. Kejanggalan-kejanggalan yang dia rasakan di setiap doktrin saat masih menjadi anggota kelompok ekstrem pun akhirnya terjawab. Pada akhirnya pria kelahiran Madiun ini menyadari bahwa jihad dengan berbuat kerusakan di Indonesia membalas ketidakadilan di negara lain, tidak akan menyelesaikan apapun.
Dia pun mencoba meluruskan pemahamannya dalam mengenal Tuhan. Tuhan bukanlah penguasa penghukum hamba atau menginginkan menyiksa hamba-Nya. Tapi justru Tuhan adalah entitas Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
2 Comments