Perlindungan HAM Korban Terorisme

Oleh: Novi
Mahasiswa Kajian Terorisme, Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia

Terorisme masih menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan hidup masyarakat. Terorisme bertujuan membangkitkan rasa takut. Bentuknya berupa kekerasan dan dampaknya begitu luas; menghancurkan harta benda dan korban yang acak, yang seringkali merupakan warga sipil. Sepanjang tahun 2017, tercatat ada 10.900 serangan teror di seluruh dunia, sebanyak 26.400 orang meninggal dunia dan 27.211 luka-luka (Jupp, 2019: 1).

Target serangan para penganut paham ekstremisme tergantung ideologi yang diyakininya. Namun apa pun faktor yang melatarinya, setiap kekerasan ekstremisme hampir selalu menimbulkan korban tak bersalah yang mengalami kerugian material, fisik, maupun psikis.

Baca juga Perempuan dan Perdamaian

Dampak kekerasan terorisme semakin nyata terlihat ketika negara belum memenuhi secara optimal hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh para korban. Hal ini merupakan salah satu bentuk pengabaian atas hak asasi manusia para korban, karena negara seharusnya menjamin kehidupan rakyatnya, termasuk keamanannya. Oleh karena itu, perlindungan HAM terhadap korban terorisme menjadi penting karena sesungguhnya mereka hanya kebetulan terdampak atas serangan yang sebenarnya ditujukan kepada negara.

Di Indonesia, sejak tahun 2001 sampai dengan 2019 terdapat beberapa serangan terorisme yang menimbulkan korban dalam jumlah yang cukup banyak, antara lain Bom Bali 2002, Bom Marriot Jakarta 2003 dan 2009, Bom Kuningan 2004, dan Teror Thamrin 2016, dan beberapa peristiwa lainnya. Sebagian besar korban bom tersebut masih belum mendapatkan hak-haknya.

Baca juga Perempuan dan Kekerasan

Salah satu korban yang belum mendapatkan perhatian pemerintah adalah Ni Nyoman Pasirini, korban langsung dari serangan Bom Bali tahun 2005. Ia terkena dampak yang cukup signifikan, tidak hanya fisik, tetapi juga psikis hingga psikososial. Pascakejadian, ia mengalami trauma terhadap laki-laki yang menggunakan ransel dan jaket, bahkan terhadap suara azan, karena salah satu pelaku pengeboman memekikkan takbir ketika melancarkan serangan. Ni Nyoman memang telah mendapatkan bantuan medis dari pemerintah, namun ia dan seluruh korban bom Bali itu belum mendapatkan kompensasi dari Negara.

Padahal, korban dari tindak aksi terorisme memiliki kebutuhan, harapan, dan prioritas yang berbeda dari korban kejahatan lainnya. Dibutuhkan sebuah pendekatan multidimensi dalam penghitungan hak-hak mereka (UN, 2016: 12). Penulis mengapresiasi Negara telah membentuk LPSK sebagai lembaga yang mengurusi hak-hak korban. Namun demikian, apakah perlindungan dan hak-hak terhadap korban terorisme sudah terpenuhi secara optimal?

Baca juga Bunuh Diri dan Terorisme

UU No. 5 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah mengatur hak-hak korban terorisme, antara lain kompensasi. Namun aturan kompensasi korban terorisme baru pertama kali terimplementasikan 14 tahun kemudian. Negara melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan kompensasi kepada 7 orang korban Bom Samarinda sebagai pelaksanakan amar putusan PN Jakarta Timur yang mengadili para pelaku teror Bom Samarinda pada September 2017. Setelah itu Negara kembali memberikan kompensasi bagi sejumlah korban peristiwa terorisme lain.

UU di atas kini telah direvisi oleh UU No. 5 Tahun 2018. Salah satu beleidnya adalah korban terorisme yang peristiwanya terjadi sebelum pengesahan UU versi revisi dan belum mendapatkan kompensasi dapat mengajukan kompensasi. Namun prosedurnya diatur oleh peraturan pemerintah (PP). Sayangnya PP yang dimaksud belum juga diterbitkan. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya tidak mengulur waktu untuk mengesahkan PP tersebut. Karena bagaimana pun juga, hal ini adalah persoalan hak asasi manusia.

Baca juga Peta Terorisme Pasca-Baghdadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *