Perempuan dan Perdamaian

Oleh: Linda Astri Dwi Wulandari
Alumni Pascasarjana Universitas Indonesia

“Kau tahu mengapa perempuan memiliki Rahim?” Begitulah pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang kawan dalam diskusi kami di warung kopi. Saya terdiam sejenak untuk berpikir. Melihat saya terdiam, ia melanjutkan perkataannya, “Rahim adalah sifat Tuhan yang berarti penyayang. Karena kau memiliki Rahim, maka di situlah kau dipercaya sebagai sumber cinta dan kasih sayang.”

Perbincangan itu mengingatkan saya pada pernyataan Presiden Jokowi saat peringatan Hari Perdamaian Dunia di Sumenep Madura, Oktober 2017 silam. Dalam pidatonya, Jokowi mengungkapkan potensi feminitas dalam diri perempuan mempunyai kesinambungan dalam membumikan nilai-nilai kasih sayang, kemanusiaan, dan perdamaian. Potensi tersebut harus digali dan kita kembangkan agar perempuan mampu berkontribusi aktif dalam menciptakan perdamaian. Rasanya tidak berlebihan jika saya menyebut bahwa perempuan adalah kunci dari perdamaian suatu bangsa.

Baca juga Perempuan dan Kekerasan

Secara psikologis, perempuan sebagai ibu memiliki jiwa pengasuh dan pencipta perdamaian alamiah sepanjang sejarah peradaban manusia. Peran ini secara tidak langsung memberikan kepekaan perempuan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk kekerasan sehingga mereka dapat menawarkan alternatif model perilaku yang tepat untuk menangkal berbagai bentuk kekerasan.

Selama ini satu hal yang mungkin jarang dibicarakan dalam setiap proses pencapaian perdamaian adalah keberadaan dan peran perempuan dalam pemeliharaan perdamaian. Masalah perdamaian dan segala upaya untuk mewujudkannya dianggap bagian dari pekerjaan laki-laki. Sehingga peran perempuan dalam hal ini dianggap menjadi kurang signifikan. Perempuan lebih sering diletakkan sebagai korban daripada sebagai pemberi solusi untuk menciptakan situasi damai.

Baca juga Berdakwah dengan Hati

Dalam sejumlah kasus kekerasan, perempuan adalah korban. Namun kepekaan yang mereka miliki sebagai korban konflik ataupun kekerasan justru menyebabkan perempuan memiliki dorongan yang lebih kuat untuk menciptakan perdamaian (peacemaking) dan membangun perdamaian (peace building) yang transformatif. Perempuan lebih sensitif dalam menilai potensi dominasi untuk “menyusupkan” misi-misi perdamaian.

Kapasitas perempuan dalam mendorong perdamaian setidaknya di tingkat akar rumput sudah terbukti di banyak kasus konflik sosial. Gerakan perempuan berhasil membangun koalisi lintas kelompok sewaktu konflik berlangsung dan memberi kontribusi bagi mudahnya implementasi perdamaian saat kesepakatan dicapai parapihak. Sebuah studi yang dilakukan oleh Peace Institute antara tahun 1989 hingga 2011 terhadap 182 persetujuan damai yang telah disepakati menemukan, apabila perempuan dilibatkan dalam proses perdamaian maka peluang persetujuan damai untuk bertahan selama 15 tahun atau lebih meningkat sebesar 35%.

Baca juga Bunuh Diri dan Terorisme

Perjumpaan-perjumpaan saya dengan beberapa sosok perempuan korban kekerasan memberikan saya refleksi untuk bisa melihat potensi dalam diri mereka sebagai agen perubahan. Sebut saja perjumpaan saya dengan Hayati Eka Laksmi (Eka), sosok Ibu dua anak yang harus berjuang menjadi single parent lantaran suaminya menjadi korban ledakan Bom Bali tahun 2002. Kita tahu bahwa Bom Bali adalah salah satu bencana sosial terbesar akibat dari terorisme.

Kehilangan tidak pernah menjadi hal yang mudah. Eka tentu harus melawan kesedihan dan keterpurukan agar bisa terus mendampingi anak-anaknya. Di depan anaknya, Eka tak pernah menunjukkan kesedihan dan amarahnya yang sempat meledak-ledak. Eka ingin menumbuhkan jiwa tangguh dan pemaaf kepada anak-anaknya. Eka mencoba selalu menyisipkan jiwa damai di hati anak-anaknya.

Eka mengaku telah berdamai dengan dirinya sendiri dan melapangkan hati untuk memaafkan pelaku. Eka ingin menjadi duta damai agar tidak lagi ada orang yang bernasib sama dengan dirinya. “Saya katakan, untuk apa membalas dendam, untuk apa membalas kekerasan dengan kekerasan. Saya ajarkan itu kepada anak-anak saya selama 17 tahun,” ungkap Eka saat menghadiri salah satu kegiatan AIDA.

Hayati Eka Laksmi dalam kegiatan Dialog Interaktif “Belajar Menjadi Generasi Tangguh” di Indramayu.

Anak-anak Eka tumbuh dengan cinta dan kasih sayang meskipun sang ayah telah tiada. Anak pertama Eka juga sempat dipertemukan dengan anak Amrozi, pelaku Bom Bali yang telah menewaskan ayahnya. Rupanya mereka berdua justru bisa berdamai dan tidak saling mendendam. Peran Eka dalam mendidik anaknya untuk bisa memaafkan tentulah sangat besar.

Kini, Eka bukan hanya menanamkan jiwa damai di hati anak-anaknya, tetapi juga gencar melakukan kampanye perdamaian di berbagai daerah di Indonesia. Eka memiliki cita-cita agar tidak ada lagi korban dan penderitaan. Eka mencoba menebarkan kisah tangguh dan jiwa damainya ke seluruh pelosok negeri. Eka adalah salah satu bukti bahwa perempuan memiliki peran penting dalam upaya menciptakan perdamaian.

Berdasarkan sejumlah fakta di atas, perempuan berperan vital dalam pembangunan perdamaian. Dengan kualitas yang dimiliki, sudah sepatutnya perempuan mendapat akses yang lebih besar untuk terlibat langsung dalam proses perdamaian sebagai inisiator, katalisator, fasilitator, organisator, dan negosiator/mediator perdamaian. Hal yang harus selalu kita dukung adalah pengarusutamaan perempuan dalam segala upaya pembangunan perdamaian.

Baca juga Kisah Korban dan Mantan Pelaku: Role Model Rekonsiliasi

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *