Terorisme Bisa Bermula dari Lingkup Keluarga
“Dari peristiwa yang mengoyak kemanusiaan di Surabaya dua tahun lalu, kita seakan dihentak bahwa aksi kekerasan tidak hanya berlatar sosial, politik, dan ekonomi semata. Akan tetapi aksi terorisme, justru adakalanya bermula dari ruang lingkup terkecil, yaitu keluarga”
Aliansi Indonesia Damai- Pernyataan tersebut disampaikan aktivis perempuan perdamaian sekaligus Pembina AIDA, Farha Ciciek Assegaf, saat membuka kegiatan “Bedah Buku La Tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya” yang diselenggarakan AIDA bersama Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya, Kamis (6/8/2020).
Baca juga Menyingkap Akar Terorisme
Menurut Ciciek, sapaan akrab Farha Ciciek, terorisme bisa tumbuh subur dalam lingkup terkecil masyarakat, yaitu keluarga. Belajar dari pengalaman pengeboman di tiga gereja yang terjadi pada 2018 di Surabaya, seluruh pelaku ternyata dari satu keluarga inti, bahkan anak-anak yang masih kecil turut dilibatkan.
Melalui diskusi buku yang mengisahkan perjalanan hidup mantan pelaku terorisme dan korbannya, mahasiswa diharapkan mengambil ibroh (pembelajaran) agar kekerasan terorisme tak terulang kembali.
Baca juga Heroisme Dapat Memicu Terorisme
Buku La Tay’as merupakan hasil pergulatan penulisnya, Hasibullah Satrawi, dalam melakukan pendampingan terhadap korban bom dan mantan pelaku terorisme di Indonesia. Seiring perjalanan waktu, kedua belah pihak yang mulanya tidak pernah saling mengenal kemudian menjalin rekonsiliasi dan mengampanyekan perdamaian secara bersama.
Bagi Ciciek momentum ini sangat berharga karena menghadirkan dua pihak yang memiliki pembelajaran hidup, yaitu mantan pelaku terorisme dan korban terorisme sebagai narasumber.
Baca juga Jangan Lelah Menjaga Perdamaian Indonesia
“Kita semua sangat beruntung karena (diskusi virtual: red) ini menghadirkan dua sisi penting. Dari perspektif korban terorisme dan juga mereka dari mantan pelaku terorisme. Mereka memiliki pengalaman luar biasa sebagai guru terbaik. Figur-figur yang memiliki kredibilitas dan kapasitas di lingkupnya masing-masing,” ujar pendiri komunitas Tanoker, Ledokombo, Jember itu.
Baca juga Elemen Utama Propaganda Ekstremisme
Ciciek berharap, mahasiswa sebagai agen perubahan dan agen perdamaian dapat melakukan upaya pencegahan lebih dini dari berbagai potensi ekstremisme kekerasan, baik berbasiskan ras, agama, suku maupun terorisme.
“Mari kita selalu mewaspadai berbagai paham yang mengarah kepada ekstremisme kekerasan. Kita harus menjadi penggerak perdamaian mulai dari lingkungan terkecil seperti keluarga, kampus dan lingkup yang lebih luas,” katanya memungkasi. [FS]
Baca juga Menjaga Kampus dari Ekstremisme