09/09/2020

16 Tahun Bom Kuningan: Harapan Damai Penyintas

Aliansi Indonesia Damai- Tiba-tiba terdengar suara ledakan sangat kencang memekakkan telinga. Asap tebal membumbung tinggi. Semuanya terlihat hancur porak poranda. Hari yang cerah seketika berubah menjadi sangat mencekam dengan jerit tangis kesakitan para korban.

Situasi itu dituturkan sejumlah korban ledakan bom yang terjadi di depan Kedutaan Besar Australia, Jl. HR. Rasuna Said Kuningan, Jakarta pada pukul 10.30 WIB, 16 tahun silam. Kekacauan itu terjadi lantaran ledakan bom berdaya ledak tinggi dari sebuah mobil box yang mengangkut bom. Sejumlah orang meninggal dunia dan ratusan orang lainnya mengalami cedera.

Baca juga Hak-Hak Korban Terorisme Masa Lalu

Peristiwa mengerikan itu sudah lama berlalu, namun penderitaan sejumlah korbannya masih dirasakan sampai saat ini. Mulyono misalnya, ia harus menjalani hari-hari dengan bergantung pada obat-obatan pereda rasa nyeri seumur hidupnya. Saat itu, Mulyono hanya kebetulan sedang mengendarai mobil di sekitar Kedubes Australia untuk menghadiri rapat.

Akibat ledakan itu, rahang Mulyono nyaris hancur. Ia harus menjalani serangkaian rekonstruksi ulang pengembalian bentuk rahang. Berulang kali dokter yang menanganinya gagal. Kendati pada akhirnya sukses, namun tak bisa mengembalikan bentuk rahang normal seperti semula. Serangkaian ikhtiar medis itu pun harus dilakukan dalam waktu cukup lama.

Baca juga Tak Henti Mendukung Korban

Nasib hidup yang sama juga dialami Yunik. Saat itu ia sedang menumpang angkutan Kopaja dan hendak turun di halte yang tak jauh dari titik ledakan. Saking panasnya api dari ledakan itu, tangan Yunik menempel dan melepuh dengan pegangan besi Kopaja. Ia tak kunjung bisa menyelamatkan diri karena tangan dan besi seolah menyatu dan tak bisa dilepaskan.

Beberapa serpihan besi panas juga menancap di bagian tangan kirinya. Berulang kali Yunik menahan rasa sakit dan berusaha melepas tangannya dari pegangan besi itu. Ia juga harus kehilangan dokumen penting usaha cateringnya. Kemudian hari, usaha itu harus bangkrut, sehingga perekonomian keluarganya memburuk.

Baca juga Suluh Perdamaian di Kota Pahlawan

Sementara Yuni Arsih harus kehilangan suaminya untuk selamanya. Suryadi, sang suami, sedang bertugas merapikan taman di halaman depan gedung Kedubes Australia ketika ledakan terjadi. Ia meninggal di tempat dengan luka sangat parah di sekujur tubuhnya.

Saat ini, Mulyono, Yunik dan Yuni mengaku sudah ikhlas atas semua musibah yang mereka alami, sekalipun luka fisik maupun psikis masih mereka rasakan sampai saat ini. Tak hanya itu, mereka juga telah memaafkan para pelakunya. Semua itu dilakukan demi perdamaian bagi dirinya, keluarga, dan masyarakat luas. Tak ada perdamaian bila di dalam diri seseorang masih menyimpan dendam terhadap orang lain.

Baca juga Saatnya Mayoritas Menyuarakan Perdamaian

Kini, setelah enam belas tahun peristiwa itu berlalu, mereka masih berjuang memulihkan luka dan derita hidup yang dialami. Di tengah keterbatasan hidup, sejumlah penyintas terorisme itu masih mempunyai harapan, tekad dan mimpi untuk Indonesia yang lebih damai. Mereka tak ingin timbul korban-korban baru akibat aksi kekerasan.

Memeringati enam belas tahun kejadian itu, Yayasan Penyintas Indonesia, komunitas yang menghimpun korban terorisme di Indonesia, menggelar aksi hening suara dan hening aktivitas. Aksi itu berlangsung tepat pada pukul 10.30 WIB. Mereka mendedikasikan aksi ini untuk mengenang pengorbanan, mimpi, dan harapan penyintas terorisme. [SWD]

Baca juga Rilis Pers Aliansi Indonesia Damai (AIDA) terkait Penerbitan Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *