13/12/2020

Dialog Mahasiswa UIN Padang dengan Penyintas Bom

Aliansi Indonesia Damai- “Sabar ya, Uni. Semangat terus dan sukses terus untuk Uni Nanda. Karena semua adalah pemberian Allah.” Pernyataan ini terlontar dari salah seorang peserta pengajian daring bertajuk “Generasi Milenial dan Pembangunan Perdamaian” yang digelar AIDA, Sabtu (5/12/2020). Ungkapan itu bentuk empati dan dukungan kepada Nanda Olivia Daniel, korban Bom Kuningan 2004.

Akibat peristiwa pengeboman di depan kantor Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada September 2004, perempuan berdarah minang ini harus menderita luka serius pada telapak tangannya, gendang telinga robek, dan luka terbuka di bahunya. Karena cederanya yang parah, ia harus menjalani serangkaian operasi dan pemulihan yang lama. Walhasil kuliahnya yang sudah tingkat akhir terbengkalai.

Baca juga Muslim Milenial dalam Pembangunan Perdamaian

Serangkaian operasi tentu membutuhkan dana. Salah seorang  peserta  menanyakan mengenai pembiayaan dan peran pemerintah dalam proses pemulihan para korban terorisme, khususnya Bom Kuningan.

Nanda menjelaskan, semua biaya pengobatan di masa kritis ditanggung oleh pemerintah. Saat menjalani perawatan di rumah sakit, ia mendapatkan kunjungan dari korban Bom Marriott. Berdasarkan pengalaman mereka, biaya pengobatan dari pemerintah hanya berlaku sesaat setelah kejadian bom. Sehingga apabila korban yang belum pulih betul memaksakan diri pulang, maka untuk berobat lagi harus memakai biaya sendiri. Hal itulah yang membuatnya bersabar menjalani pengobatan hingga benar-benar pulih, meski harus 3 bulan menginap di RS.

“Saya juga dikunjungi pihak Kedutaan yang menawarkan penanganan lebih baik di Australia dengan semua biaya ditanggung kedutaan. Saya menjalani operasi rekonstruksi jari di sana,” katanya.

Baca juga Jihad untuk Perdamaian

Selain menderita secara fisik, peristiwa tersebut juga mengganggu psikis Nanda. Sejak 2004 hingga 2015, setiap kali ia bercerita tentang pengalamannya menjadi korban bom, ceritanya tidak pernah usai karena berakhir dengan isak tangis. Saat bersamaan, ketika melihat berita penangkapan teroris atau teroris yang mati dan jenazahnya tidak diterima oleh masyarakat, ia merasa senang. “Akhirnya keluarga pelaku ikut merasakan apa yang saya dan korban lainnya rasakan,” katanya mengenang emosinya dulu.

Pada tahun 2015, untuk pertama kalinya ia bertemu dengan seorang mantan teroris yang telah bertobat. Amarahnya tak terbendung dan terluapkan begitu saja saat itu. “Akhirnya saya putuskan untuk melakukan konseling, karena ada sesuatu dalam diri saya,” ujarnya.

Baca juga Generasi Milenial Duta Perdamaian

Seorang peserta lain menanyakan tentang upaya Nanda menghapus dendam. Ia mengungkapkan, setelah pertemuannya dengan mantan teroris, perlahan rasa dendamnya justru terkikis. Malah timbul rasa prihatin dan kasihan.

Ia juga menyadari bahwa  amarah dan dendam tidak akan pernah bisa mengembalikan tangannya berfungsi normal seperti sedia kala. “Saya memutuskan untuk memaafkan mantan pelaku dan semua yang telah terjadi pada dirinya. Agar saya bisa menjalani hidup lebih baik lagi,” katanya. [FL]

Baca juga Ketulusan dalam Pemaafan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *