14/12/2020

Mengimunisasi Remaja

oleh Rohmi Ummu Fithriyah
Guru SMP Citra Alam Ciganjur Jakarta Selatan

Ada tiga virus besar yang saat ini menjangkiti generasi remaja Indonesia: penyalahgunaan narkoba; pergaulan bebas; dan ekstremisme kekerasan. Tanpa mengabaikan problem-problem lainnya, ketiganya sangat mengancam perkembangan remaja lantaran daya rusaknya yang besar. Dampak terjauh adalah kehancuran masa depan bangsa, pasalnya remaja adalah pengurus negeri ini kelak.

Tentang penyalahgunaan narkoba, Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan, pada tahun 2018, penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar (dari 13 ibukota provinsi di Indonesia) mencapai angka 2,29 juta orang. Salah satu kelompok masyarakat yang rawan terpapar adalah rentang usia 15-35 tahun atau generasi milenial (https://bnn.go.id/penggunaan-narkotika-kalangan-remaja-meningkat).

Soal pergaulan, dalam skala nasional, Komnas Perlindungan Anak pernah melakukan survei yang melibatkan 4500 remaja sebagai responden. Hasilnya bikin miris. 93,7% responden mengaku pernah berciuman hingga petting, sebanyak 32% responden berusia 14-18 tahun mengaku pernah berhubungan seks, serta 21,2% responden putri pernah melakukan aborsi  (Jawa Pos, 8 Oktober 2012).

Baca juga Guru dan Pendidikan Karakter

Terkait ekstremisme kekerasan, ada sejumlah aksi terorisme yang melibatkan remaja. Pada tahun 2011, enam anggota kelompok ightiyalat divonis bersalah oleh pengadilan karena terlibat serangkaian percobaan teror bom di Klaten Jawa Tengah. Semuanya masih berumur belasan tahun. Sedangkan pada 2012, ada 7 orang dalam kategori usia anak yang ditangkap polisi karena kasus terorisme. Fakta yang paling mencengangkan adalah rangkaian aksi Bom Surabaya Mei 2018 yang melibatkan beberapa anak sebagai pelaku aktif.

Pergaulan bebas banyak memicu problem kesehatan reproduksi bagi para remaja. Biasanya akibat kehamilan di usia dini yang tak dikehendaki, memicu terjadinya tindakan aborsi ilegal yang membahayakan nyawa. Di samping itu para remaja juga rentan untuk terjerumus dalam aktivitas-aktivitas negatif lain, termasuk kriminalitas dan penggunaan obat-obat terlarang.

Adapun bahaya kecanduan narkoba tak perlu dibicarakan lagi. Seorang yang kecanduan rela melakukan apa pun untuk mendapatkannya, termasuk aksi kriminal. Kasus kematian remaja akibat overdosis narkoba tak terhitung lagi jumlahnya di Indonesia.

Baca juga Bersyukur Pantang Mengeluh

Sementara benih ekstremisme kekerasan pada remaja juga terekspresikan dalam bentuk tawuran yang terkadang menyebabkan hilangnya nyawa sendiri dan orang lain. Sedangkan dalam bentuk teror dilakukan oleh sejumlah pelaku bom bunuh diri berusia remaja, seperti serangan di Hotel JW Marriot Jakarta Juli 2009 dan Bom Surabaya Mei 2018, yang menyebabkan beberapa nyawa melayang dan puluhan lainnya cedera. Kerugian material tak terhingga, kedamaian negeri terkoyak virus.

Remaja adalah aset negara yang sangat berharga. Mereka pengelola negara masa depan. Jika masa remaja dipenuhi dengan “penyakit-penyakit” tersebut, kelak masa dewasanya hanya disibukkan oleh usaha penyembuhan diri sendiri.

Problem ini adalah tanggung jawab semua pihak, bukan hanya sektor pendidikan formal. Tak perlu ada kurikulum tambahan yang justru membuat remaja rentan stres akibat tumpukan pelajaran, hingga malah mencari pelepasan kepenatan melalui aksi-aksi negatif.

Baca juga Fenomena Post-Truth dan Tantangan Perdamaian

Dari sisi mata pelajaran, sejak dulu kita sudah diberi pendidikan moral dan agama. Namun generasi remaja memang tak memiliki daya kebal yang tangguh atas penularan virus-virus amoral yang disebarkan oleh beragam media, terutama internet.

Di sini pola asuh orang tua dan regulasi negara jauh lebih penting. Maka yang diperlukan sesungguhnya adalah kurikulum “kekebalan (imunitas)”. Inilah yang saya maksud mengimunisasi remaja. Dengan daya imunitas yang terpatri, seberapa pun kuatnya arus penularan virus amoral, karakter asli remaja tak tergoyahkan.

Semua virus di atas tak bisa didekati secara hitam putih, dengan kaca mata dosa dan neraka. Penyalahgunaan narkoba dan pergaulan bebas tidak bisa dicegah dengan sekadar ancaman normatif bahwa semua itu haram, dosa besar, dan akan diganjar dengan siksa neraka. Saat masih duduk di bangku sekolah dulu, saya kerap “diancam” dengan pernyataan, “Jika kalian mengonsumsi minuman keras, maka kelak di akhirat tidak akan bisa menikmati lezatnya khamr surga. Jika kalian berzina, maka di akhirat tak akan ditemani oleh bidadari-bidadari surga.” Melarang ini dan itu tanpa rasionalisasi yang kuat, justru membuat remaja kian penasaran.

Baca juga Mensyukuri Nikmat di Tengah Pandemi

Bukan berarti mengecilkan peran pendidikan agama dan moral, namun pendekatan psikologis dan sosiologis juga perlu diprioritaskan. Dampak-dampak merusak bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat atas tiga virus di atas, itulah yang semestinya diurai dan diterangkan. Dalam hal hubungan lawan jenis misalnya, guru atau orang tua bisa menunjukkan fakta-fakta kerusakan psikis dan sosial yang diakibatkan pergaulan bebas.

Sementara dalam ekstremisme kekerasan, tindakan nekat mereka banyak dipengaruhi oleh ideologi keagamaan. Inilah yang membedakan virus ini. Dalam hal pergaulan bebas dan penyalahgunaan narkoba, pelaku masih menyadari dalam relung batinnya bahwa tindakannya adalah salah dan dosa, walaupun secuil.

Sementara dalam ekstremisme kekerasan berbasis agama, pelaku justru yakin bahwa tindakannya yang mencederai, bahkan menghilangkan nyawa, ialah bagian dari perintah agama. Dalam konteks ini, sangat penting untuk menumbuhkan nalar kritis agar remaja tak mudah dirasuki ekstremisme yang sejatinya menyempal dari arus utama ajaran Islam.

Baca juga Ketangguhan Melawan Ekstremisme

Bagi saya, adalah tanggung jawab negara meningkatkan kualitas guru melalui bermacam cara, salah satunya peningkatan kesejahteraan agar mereka bisa mencurahkan segenap energinya untuk mendidik generasi bangsa.

Sementara di luar sekolah, cinta kasih tanpa batas dari orang tua adalah keniscayaan. Komunikasi yang dialogis, bukan instruktif apalagi menghakimi, antara orang tua dengan anak, membuat anak tidak perlu mencari tempat curhat atas segala masalahnya, termasuk persoalan seksual yang selama ini dianggap tabu. Orang tua wajib berusaha menjadi konselor bagi buah hatinya, bukan hakim yang mengadili atau bos yang menyuruh dan memberi bayaran.

Baca juga Sumpah Pemuda: Menyongsong Indonesia Emas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *