19/03/2021

Menghidupkan Nalar Kritis

Aliansi Indonesia Damai- Ayat-ayat peperangan dalam Al-Qur’an tidak bisa dipahami secara tekstual, melainkan harus dengan mengetahui konteksnya. Tanpa pembacaan yang komprehensif, teks-teks keagamaan terkait peperangan bisa melahirkan ekstremisme kekerasan.

Pernyataan ini diungkapkan oleh Abdul Mu’thi, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dalam Pelatihan Pembangunan Perdamaian di Kalangan Mahasiswa yang diselenggarakan AIDA secara daring pada Rabu (17/03/2021). Kegiatan diikuti puluhan mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Purwokerto dan sekitarnya.

Baca juga Memahami Terorisme dari Konteks

Dalam pemahaman kelompok ekstrem, orang lain yang dianggap berbeda agamanya boleh diambil hartanya dan darahnya halal ditumpahkan. Pemahaman tersebut diklaim merujuk pada ayat Al-Qurán dan hadis. Padahal teks-teks tersebut muncul terkait dengan kondisi peperangan yang sedang dijalani umat muslim kala itu.

Seorang peserta lantas menanyakan tentang cara membentengi diri dari ekstremisme. Menurut Mu’thi, ketika ada orang yang menyampaikan pendapat tentang urusan agama, maka kita harus membandingkannya dengan  Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu bisa juga bertanya kepada orang yang berilmu.

Baca juga Imam Prasodjo: Adaptasi Kunci Kemajuan

“Jangan mengambil keputusan sendiri. Fas’alu ahla al-dzikri, tanyakan kepada orang yang lebih mengetahui. Tanya kepada orang-orang yang alim, sehingga tidak menimbulkan kekeliruan,” ujar Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Pengurus AIDA, Hasibullah Satrawi, menjelaskan bahwa tujuan besar kelompok ekstremis bersifat politis, yaitu mendirikan negara atau khilafah yang menegakkan syariat Islam secara formal dan total. “Mereka menganggap bahwa NKRI sebagai negara tidak ideal, maka ingin bergerak ke negara yang ideal,” ucapnya.

Baca juga Terorisme Menyengsarakan Korban dan Pelakunya

Dalam hematnya, cita-cita tersebut tidak salah. Namun menjadi persoalan ketika untuk mencapainya dilakukan dengan cara-cara kekerasan, misalnya aksi bom bunuh diri yang diklaim sebagai amaliyat istisyhadiyah (mencari kesyahidan). Aksi-aksi tersebut justru menimbulkan korban-korban tak bersalah. Sementara pelakunya justru meyakininya sebagai jihad.

Oleh karenanya, Hasibullah mengajak mahasiswa untuk mengembangkan nalar kritis sehingga bisa menimbang dampak dari pemahaman tertentu. “Mana yang paling banyak maslahat dan mafsadatnya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain,” ujarnya. [FS]

Baca juga Peran Perguruan Tinggi Menangkal Ekstremisme

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *