20/03/2021

Penyintas Bom Thamrin Melawan Trauma (Bag. 1)

Aliansi Indonesia Damai- “Saya mau tidur, Ya Allah. Satu malam saja.”  Doa yang lirih dipanjatkan Andi Dina Noviana, di malam kelam pascamusibah Bom Thamrin 2016 yang dialaminya. Selama 3 bulan ia tak pernah bisa memejamkan mata untuk merasakan nikmatnya terlelap di malam hari. Trauma luar biasa ia rasakan.

“Setiap mau coba merem, selalu ketarik dengan kejadian saat itu. Ketika terbayang kejadiannya, badan dan kepala saya rasanya panas. Yang ada saya panik attack, teriak, menangis, dan pusing,” ujarnya.

Baca juga Kebangkitan dan Ikhtiar Memaafkan

Dina, demikian sapaan akrab Andi Dina Noviana, tak pernah lupa detik-detik sebelum terjadi ledakan yang mengubah hidupnya. Saat itu Dina sedang menikmati kopi dan sarapan di salah satu restoran di jalan MH. Thamrin Jakarta Pusat, sembari menyelesaikan perkerjaannya. Dina adalah karyawan Digital Marketing di salah satu perusahaan di Jakarta. “Kondisi saat itu tidak ada yang mencurigakan. Normal seperti biasa. Sekitar 40 menit kemudian, baru terjadi ledakan,” katanya.

Kejadiannya begitu cepat. Dina tiba-tiba melihat banyak asap dan merasakan hawa panas. Ia tertimpa reruntuhan meja dan atap restoran. Dina merasa badannya lemas, namun dengan sekuat tenaga ia mencoba keluar dari lokasi ledakan. Ia tak sadar melompat dari jendela setinggi 1,5 meter. Sontak ia terjatuh. “Saat saya jatuh terjadi ledakan kedua di Pos Polisi,” ujar perempuan asal Sulawesi Selatan ini.

Baca juga Asa Perempuan Tangguh Setelah 5 Tahun Bom Thamrin

Dua ledakan kencang yang terjadi, membuat telinga Dina terus berdengung kencang. Ia tak bisa lagi mendengar apa pun di sekelilingnya. Beruntung ada orang yang menolong dan membawanya ke rumah sakit terdekat. “Di UGD, tindakan yang saya dapat adalah operasi bahu kiri. Harus operasi untuk mengeluarkan pecahan kaca setebal 3,5 cm yang menancap,” katanya.

Tak kurang dari 12 jahitan ia terima. Tangan Dina juga harus disokong kawat pengikat permanen agar kembali bisa digerakkan. Bukan hanya luka di bagian tangan, kakinya juga mengalami cedera serius. Selama 3 bulan ia tak bisa berjalan. Telinga sebelah kirinya juga tak pernah lagi bisa mendengar sempurna seperti sedia kala hingga kini. Meski lukanya serius, Dina memilih tidak menjalani perawatan di rumah sakit. Ia ingin dirawat di rumah oleh keluarganya.

Baca juga Menyalakan Semangat Kebangkitan

Bagi Dina, segala luka fisik yang ia alami tak sebanding dengan luka psikis yang ia rasakan. Ia sempat mengalami halusinasi, depresi, trauma, hingga paranoid. Ia seolah selalu didekap oleh perasaan takut. “Ada momen saya nggak mau keluar rumah, saya takut dengan dunia luar,” ungkapnya. 

Dina menyebut masa-masa itu adalah titik terendah dalam hidupnya. Ia merasa sangat terpuruk, bahkan sempat tiga kali mencoba bunuh diri. “Saya sempat mau bunuh diri, karena efek dari depresi. Merasa hidup tidak berguna,” ujarnya sembari menahan air mata. (Bersambung)

Baca juga Dampak Berlipat Korban Terorisme

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *