Dialog Mantan Napiter dengan Petugas Lapas
Aliansi Indonesia Damai- Kurnia Widodo, mantan narapidana terorisme, mengakui bahwa awal kesadaran perubahan dirinya adalah saat mendekam di Lapas Cipinang Jakarta, beberapa tahun silam. Hal itu setelah dirinya mulai berinteraksi dengan pihak-pihak yang selama ini dijauhi oleh kelompoknya, termasuk petugas Lapas.
Pernyataan tersebut diungkapkan Kurnia saat berbicara dalam Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme Bagi Petugas Pemasyarakatan, Kamis (17/07/2021). Kegiatan digelar secara daring atas kerja sama AIDA dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham.
Baca juga Membina Napiter dengan Narasi Korban
Kurnia mengakui, perlakuan baik dari para petugas Lapas memengaruhi perubahannya. “Saya juga banyak bertemu dan berdialog dengan tokoh-tokoh yang memiliki pemikiran yang lebih moderat dibandingkan dengan kelompok semula,” ujarnya.
Ia mengaku, awal dirinya di Lapas, ia masih bersikap eksklusif, bahkan menolak mengikuti shalat berjamaah di masjid Lapas. Karena saat itu masih mengikuti paham takfiri, yang di antara praktiknya adalah menghindari shalat di masjid-masjid yang dibangun pemerintah. “Waktu itu kami menghindari berjamaah dengan petugas Lapas dan tidak shalat di belakang mereka. Kami juga tidak mau memakan daging yang disembelih oleh orang yang tidak jelas keislamannya,” katanya.
Baca juga Dialog Petugas Lapas dengan Penyintas Terorisme
Kesadaran perubahannya semakin menguat setelah dirinya bertemu dengan korban terorisme usai bebas dari Lapas. Saat masih berada dalam jaringan ekstremisme, Kurnia mengaku tidak mengetahui dampak yang dirasakan oleh para korban dan memang tidak peduli. Namun hal itu berubah setelah melihat dampak penderitaan yang menimpa para korban tak bersalah.
Merespons paparan Kurnia, salah seorang peserta menanyakan tentang konsekuensi perubahan dirinya di kalangan kelompoknya dulu. Ia mengaku sempat mengalami tindak kekerasan dari rekannya sesame napiter di Lapas. Sementara sebagian kawannya yang istrinya ikut meninggalkan jaringan, mendapatkan intimidasi. “Minimal yang selama ini dibantu bulanan keluarganya, langsung dihentikan,” ujarnya.
Baca juga Direktur Pemasyarakatan Dorong Penguatan Kapasitas Petugas Lapas
Namun Kurnia berusaha menyikapi tekanan tersebut secara positif, salah satunya dengan mencari komunitas baru, yaitu bergaul dengan mantan ektremis yang sudah bertobat.
Peserta lain menanyakan tentang cara meng-counter pemahaman jihad takfiri yang banyak dianut napiter. Dalam hemat Kurnia, petugas bisa belajar tentang makna jihad yang sejati. Misalnya banyak dalil sahih bahwa jihad yang paling utama adalah melawan hawa nafsu. “Juga prinsip dalam Islam, pertimbangan jihad bukan hanya kewajiban, harus memerhatikan manfaat dan mudaratnya,” ucapnya.
Kendati demikian, tanpa bermaksud merendahkan pengetahuan wawasan para petugas Lapas, Kurnia menyarankan, ketimbang berdialog tentang dalil-dalil keagamaan yang bukan kompetensinya, lebih baik petugas mengajak para napiter untuk menggunakan logika yang sehat. “Seperti wawasan kemanusiaan yang kita dapat dalam acara ini. Bagaimana kisah korban dan kisah mantan,” ujarnya. [FS]
Baca juga Dirjen Pemasyarakatan: Sinergi Korban, Pamong, dan Mantan Napiter