27/07/2021

“Ketangguhan Mental Para Penyintas dan Mantan Pelaku Terorisme”

Oleh Muhammad Saiful Haq
Master Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

“Mereka (para penyintas) adalah pahlawan-pahlawan saya.”

Kata-kata tersebut terujar dari Ali Fauzi saat pertama kali penulis bertemu dengannya pada sebuah kegiatan AIDA di tahun 2018 lalu. Ali Fauzi sendiri adalah sosok yang cukup disegani di jaringan kelompok teroris sebelum akhirnya bertaubat, dan mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) yang aktif merangkul para mantan anggota teroris lainnya untuk meninggalkan jalan kekerasan.

Lantas mengapa penyintas aksi terorisme menjadi pahlawan bagi Ali Fauzi? Rupanya saat pertama kali bertemu dan mendengarkan kisah penyintas terorisme, ia mengaku larut dalam kesedihan, tak mampu membayangkan bila dirinya di posisi para penyintas tersebut yang harus mengalami penderitaan akibat ledakan bom. Ia menyesal hingga dari lubuk hati paling dalam, Ali memohon maaf kepada korban, baik atas nama pribadi maupun mewakili saudara dan kawan-kawannya yang pernah terjerumus ke dunia kekerasan.

Baca juga Menghargai Kearifan Budaya

Interaksi dengan korban, secara perlahan mengubah cara pandang Ali tentang kegiatannya dan kelompoknya, hal tersebut mendorongnya meninggalkan jalan kekerasan dan hijrah menuju jalan perdamaian. Inilah alasan mengapa penyintas adalah pahlawan bagi Ali, karena membuatnya tersadar bahwa kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah bahkan cenderung memperbesar masalah.

Kisah Ali Fauzi tersebut dapat menjadi pembelajaran penting bagi kita untuk mengutamakan jalan perdamaian daripada jalan kekerasan. Meski dendam dan amarah seringkali menguasai pikiran kita saat kita tersakiti, namun melampiaskan hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan dapat melahirkan korban-korban baru.

Baca juga Memaknai Hijrah dalam Bingkai Perdamaian

Orang yang memendam rasa dendam memiliki dorongan untuk melakukan tindakan balasan kepada orang lain agar mendapatkan kelegaan. Benarkah membalaskan dendam mampu membawa kita merasakan rasa nyaman? Membalas dendam ternyata hanya akan memperparah bahkan membuka kembali luka emosional yang dimiliki. Karena setelah dendam terlampiaskan, rasa sakit yang mungkin telah mulai sembuh justru kembali muncul.

Memang tidak mudah menahan diri dari rasa marah dan emosi negatif, namun bukan berarti tidak bisa kita lakukan. Barangkali dari sanalah kita mampu menyelamatkan dan menjadi pahlawan bagi perjalanan hidup orang lain.

Rekonsiliasi untuk Kebangkitan

Gordon Allport, seorang ahli psikologi sosial mengajukan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menekan konflik. Melalui karyanya berjudul The Nature of Prejudice, Allport mengemukakan teori yang dikenal dengan hipotesis kontak (contact hypothesis). Hipotesis kontak adalah pertemuan yang membentuk sebuah interaksi antar sebuah kelompok sosial yang berseberangan. Menurut Allport, kontak yang dikelola dengan baik dan mengarah pada interaksi antar kelompok lebih tepat bisa mampu mengurangi masalah stereotip, prasangka, konflik dan diskriminasi yang biasanya terjadi antara kelompok yang saling berseberangan.

Itulah yang perlu dilakukan oleh orang-orang berkonflik. Contoh idealnya dari praktik hipotesis kontak (contact hypothesis) adalah pertemuan korban dan mantan pelaku terorisme seperti di kisah Ali Fauzi, mereka adalah dua kelompok sosial yang seakan terlihat saling berseberangan. Namun, karena adanya interaksi yang sering dilakukan sehingga melahirkan rekonsiliasi untuk kedua pihak.

Baca juga Mengembangkan Dakwah, Menyuburkan Damai (Bag. 1)

Mencerminkan semangat dan keberanian untuk memulai dialog, menghilangkan kecurigaan dan kebencian, menghindari penggunaan kekerasan, serta meneguhkan komitmen untuk bersama-sama saling memaafkan dan komitmen mengutamakan jalan perdamaian.

Karakter tangguh jelas terlihat dalam diri kedua pihak. Sikap mantan pelaku mengajarkan kejujuran yang luhur. Dia menyadari kekeliruan masa lalunya kemudian mau mengakui kesalahan itu, serta mampu mengupayakan perbaikan-perbaikan. Semangat bina damai yang ditunjukkan korban dan mantan pelaku menyiratkan pesan-pesan positif yang sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Baca juga Mengembangkan Dakwah, Menyuburkan Damai (Bag. 2-Terakhir)

Dari para korban, kita bisa mengambil inspirasi bahwa mereka yang pernah tersakiti mampu melampaui penderitaan, lalu bangkit dan berdaya sehingga menjadi seorang penyintas (survivor). Survivor dimaknai sebagai orang yang bertahan hidup atau tetap hidup setelah melalui peristiwa pahit yang menelan banyak korban. Artinya para penyintas adalah orang yang benar-benar melalui situasi kritis (hidup mati) dalam hidupnya. Penyintas pernah mengalami ketakutan, trauma, bahkan merasa terpuruk berkepanjangan akibat kejadian mengerikan, namun kemudian berhasil melepaskannya.

Kita bisa belajar bagimana resiliensi dalam diri penyintas aksi terorisme. Resiliensi merupakan bentuk ketangguhan seseorang dalam menghadapi kondisi traumatis sehingga mampu mengatasi segala rintangan dengan baik dan dapat memulai hidup kembali. Beberapa riset psikologi menunjukkan, dukungan sosial memainkan peran untuk meningkatkan resiliensi seseorang, salah satunya dari Matina A. Amande (2019). Riset berjudul Resilience and Social Support as Predictors of Posttraumatic Stress Disorder Among Internally Displaced Persons in Benue and Taraba States menemukan, bagi seseorang yang mengalami trauma pascakejadian buruk akan merasa lebih baik dengan mendapatkan dukungan sosial (dukungan langsung dan tidak langsung).

Baca juga Cermat dengan Stigma Sosial

Dari pengamatan penulis, penyintas terorisme menemukan banyak makna atas peristiwa bom yang menimpa mereka, baik bersifat filosofis atau empiris yang dapat kita ambil sebagai inspirasi ketangguhan. Dalam kajian psikologis lainnya, penyintas telah mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD) dengan berbagi kisahnya dengan orang lain serta mengerjakan kegiatan yang membangun ketangguhan mental dirinya. Membagi kisah dan pengalaman hidup-mati kepada publik secara luas adalah usaha melampaui tekanan psikologis yang dialami dari peristiwa buruk.

Bukan tidak mungkin, kisah-kisah kepedihan dan kebangkitan yang penyintas bagikan adalah jalan takdir Tuhan menciptakan suri tauladan ketangguhan kepada kita semua. Kita juga belajar bahwa keburukan yang ditimpakan manusia tidak semestinya dibalas dengan tindakan serupa. Penderitaan yang diciptakan pelaku teror justru dibalas dengan memberikan pemaafan. Hasilnya, mantan pelaku bisa meninggalkan dunia kekerasan bahkan bersama-sama berjuang di jalan kedamaian.

Memaafkan meneladani Rasulullah Saw

Memberikan pemaafan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, sebab cukup manusiawi bagi kita ketika diperlakukan kurang baik oleh seseorang akan melahirkan emosi negatif yang rawan menjadi rasa dendam dan amarah. Namun terus menyimpan dendam dalam diri sesungguhnya secara terus menerus memberikan beban pada psikis seseorang.

Beberapa penelitian menunjukkan, membalas dendam kerapkali tidak menyelesaikan masalah, bahkan tidak sama sekali menuntaskan amarah. Beberapa ahli psikologi bahkan menemukan fakta yang unik bahwa saat seseorang membalaskan dendam memang memunculkan rasa lega, karena terjadi pelepasan dan peluapan emosional, namun rasa itu hanya terjadi saat proses melakukan balas dendam dan akan segera berganti dengan keinginan menghukum diri karena telah melakukan perbuatan yang sama buruknya dengan pelaku yang melakui dirinya. Artinya kelegaan hanya bertahan sesaat.

Baca juga Jihad untuk Perdamaian

Di sinilah pentingnya memaafkan (forgiveness) sebagai salah satu solusi menetralisasi rasa amarah dan dendam. Dalam studi psikologi positif, pemaafan merupakan proses psikis internal individu yang secara sukarela melepas perasaan dan pikiran atas rasa benci, marah, serta keinginan balas dendam terhadap orang lain dan berdamai dengan dirinya sendiri. Bahkan pemaafan disebut bagian dari terapi personal bagi seseorang yang ingin memiliki mental yang lebih baik. Sebagian ahli menyebutkan, memaafkan adalah usaha untuk mengatasi dampak negatif terhadap orang yang menyakiti dengan menunjukkan rasa kasihan, perdamaian, dan cinta (McCullough, Fincham & Tsang, 2003).

Sebagai umat beragama, memberikan maaf terhadap orang yang menyakiti dengan menunjukkan rasa kasihan, perdamaian, dan cinta adalah ajaran yang sering kita dengar dalam khutbah agama. Sebagai seorang muslim, penulis teringat bagaimana Rasulullah Saw dikenal dengan citranya yang menebarkan cinta, perdamaian dan pemaaf kepada kawan maupun lawan, sebagaimana dalam surah al Anbiya ayat 107, Rasulullah adalah sumber inspirasi bagi umat islam yang rahmatan lil ‘alamian;“Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya: 107).

Baca juga Negara Madinah: Potret Ideal Pemerintahan Islam

Tapi itu Rasulullah, kita tak sesempurna beliau? Memang Rasulullah istimewa, namun bukan tidak mungkin kita bisa meneladani beliau dalam kehidupan kita, minimal penyintas terorisme telah memberikan inspirasi kepada kita bahwa akhlak-akhlak yang mendamaikan dari Rasulullah bisa kita praktikkan oleh manusia ‘biasa’. Penulis melihat, kita bisa belajar dari penyintas terorisme yang berjuang mengampanyekan perdamaian sebagai upaya untuk meneruskan dakwah yang damai.

Rasulullah berdakwah tentang Islam dengan menjunjung tinggi perilaku mengasihi, tidak hanya terhadap manusia, tetapi juga kepada setiap makhluk bernyawa serta lingkungan. Bahkan, dalam situasi perang sekali pun, Rasulullah melarang umatnya untuk menyakiti perempuan, orang tua, dan anak-anak, serta melarang untuk merusak tanaman dan bangunan tempat ibadah (lihat hadis riwayat Al-Bayhaqi dalam Al-Sunan Al-Kubra hadis nomor 17591). Maka dakwah kita adalah dakwah yang penuh hikmah dan tidak membalas dendam.

Baca juga Terapi Pemaafan

Para penyintas aksi terorisme telah memilih jalan damai untuk menghentikan aksi-aksi kekerasan, yaitu dengan cara menyadarkan masyarakat termasuk mantan pelaku terorisme akan bahaya dan dampak dari paham kekerasan. Menurut hemat penulis langkah tersebut merupakan upaya melanjutkan misi Rasulullah, yaitu mengabarkan kepada khalayak bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, penuh cinta kasih dan sayang untuk semesta alam dan seluruh isinya. Menyebarkan nilai-nilai cinta dan perdamaian bukan menunjukkan kelemahan diri, namun sebaliknya, itu adalah wujud ketangguhan mental menghadapi cobaan dan kekuatan iman sebagai seorang muslim.

Baca juga Pemuda dan Dakwah di Media Sosial

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *