02/08/2021

Dialog Eks Napiter dengan Jurnalis Sumatera

Aliansi Indonesia Damai- AIDA menggelar acara Short Course Daring Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme, pada 27-29 Juli 2021. Kegiatan diikuti puluhan jurnalis dari Sumatera. Dalam acara yang berlangsung selama tiga hari itu, salah satu narasumber yang dihadirkan adalah Kurnia Widodo, mantan narapidana terorisme (napiter) yang pernah menghabiskan masa remajanya di Bumi Andalas.

Kurnia menceritakan awal mula dirinya bergabung dalam kelompok ekstremisme saat masih duduk di bangku SMA, hingga akhirnya keluar dari jaringan terorisme usai bebas dari hukuman penjara. Para peserta tampak antusias dengan pemaparan Kurnia, terlihat dari banyaknya respons berupa pertanyaan yang muncul.

Baca juga Liputan Media Mesti Berperspektif Korban

Salah satu peserta bertanya bagaimana pemahaman keagamaan Kurnia sebelum masuk ke dalam kelompok teror. Pasalnya, banyak asumsi yang menyebut bahwa orang dengan pengetahuan agama yang lemah sangat rentan terpapar oleh virus ekstremisme.

Kurnia mengakui, saat remaja pemahaman agamanya cetek sekali. Kala itu ia bahkan menggemari musik beraliran metal, jauh dari kesan agamis. Namun, saat berdialog dengan temannya, Kurnia kerap disuguhi isu-isu penindasan agama. Sontak hal tersebut memicu ghirah keislamannya.

Baca juga Bangkit Demi Masa Depan dan Keluarga

“Masalahnya saya diarahkan pada kelompok kekerasan ini. Dan masalahnya juga saya tidak pernah kroscek (betul tidaknya) pemahaman ini di tempat lain. Yang membuat saya semakin yakin, orang-orang ini ikhlas dikirim ke berbagai negara untuk berperang melawan Soviet, Amerika, dan negara mana pun yang menindas Islam,” demikian Kurnia mengenang.

Meskipun begitu, Kurnia menolak anggapan bahwa ekstremisme hanya menjangkiti kalangan yang lemah agamanya. “Ada teman-teman dulu yang pemahamannya bagus. Tapi memang yang pemahamannya bagus ini susah terpapar. Tapi sekalinya terpapar, mereka bisa jadi ideolog,” katanya.

Baca juga Menumbuhkan Perspektif Korban pada Jurnalis Sulawesi

Peserta lain menanyakan berapa lama proses ekstremisasi terjadi. Kurnia menjawab, prosesnya cukup variatif, tetapi rata-rata cukup lama. Kurnia berkaca pada pengalamannya dahulu. Ia terpapar setelah mengikuti pengajian seminggu sekali. Beruntung ia tidak punya dendam apa-apa kepada negara, sehingga dorongan untuk melakukan aksi pun berjalan lambat.

“Kalau seseorang punya latar belakang kebencian terhadap negara, dan kemudian mendapat pemahaman yang sesuai dengan itu, cepat sekali terpaparnya. Apalagi sekarang pengajian online masif sekali. Dua-tiga bulan orang bisa jadi pelaku,” ucapnya.

Baca juga Meneguhkan Jurnalisme Damai dari Celebes

Lebih jauh Kurnia berharap agar media massa dapat berpihak kepada korban terorisme, dengan memerhatikan dampak yang dirasakan korban dan menulisnya dalam pemberitaan. Kurnia juga meminta media untuk sama-sama menjaga perdamaian Indonesia.

”Media harus mendorong agar masyarakat ikut bersama-sama dalam memberantas terorisme. Banyak sekali kejadian, dari media orang bisa menangkap pelaku. Jangankan terorisme, pelaku pembunuhan biasa pun bisa terungkap berkat media. Inilah peran media untuk mengungkap masalah,” kata Kurnia memungkasi paparannya. [FAH]

Baca juga Penyintas Bom Menggugah Nurani Jurnalis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *