Meneguhkan Jurnalisme Damai dari Celebes
Aliansi Indonesia Damai- Akhir Mei lalu AIDA menggelar Short Course Daring Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme. Kegiatan diikuti oleh 49 orang peserta dari pelbagai media massa di Pulau Sulawesi. Salah satu narasumber yang hadir dalam kegiatan tiga hari ini adalah Solahudin, peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Solahudin menyampaikan materi mengenai perkembangan mutakhir jaringan terorisme di Indonesia. Antara lain mengenai sepak terjang kelompok terorisme yang kini telah melibatkan anak dan perempuan dalam melakukan aksi.
Baca juga Penyintas Bom Menggugah Nurani Jurnalis
Merespons paparan Solahudin, salah seorang peserta dari media daring menanyakan tips menulis berita yang mengedukasi perempuan dan anak-anak agar mereka tidak mudah terpapar paham ekstremisme kekerasan.
Menurut Solahudin, secara umum jurnalis bisa bermain dengan angle tulisan. Ketika menulis tentang topik terorisme, jurnalis tidak boleh turut menyebarkan rasa takut. “Kita tidak memberitakan tentang kehebatan dari bom tersebut. Tidak memberitakan semengerikan apa jaringannya. Kita harusnya lebih banyak berbicara tentang korban. Bisa bercerita tentang bagaimana hidup korban terorisme menjadi menderita,” ucap mantan Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) itu.
Baca juga Tiga Tahun Bom Surabaya: Menyalurkan Inspirasi Ketangguhan
Dalam hematnya, dengan memainkan angle tulisan, paling tidak menyadarkan masyarakat bahwa sekarang kelompok teror memanfaatkan perempuan dan anak. Harapannya pembaca mempunyai kesadaran tentang bahaya terorisme ini.
Lebih jauh Solahudin menambahkan bahwa jurnalis bisa membantu melawan narasi konspiratif yang menjadi salah satu hambatan utama dalam pencegahan terorisme di Indonesia. Sebagian masyarakat meyakini bahwa terorisme adalah konspirasi dari pihak-pihak tertentu. Asumsi demikian membuat masyarakat menjadi tidak peduli dan merasa tidak ada urusan dengan persoalan terorisme.
“Apabila Anda mampu membantu melawan teori konspirasi, kemudian menumbuhkan sense of urgence di masyarakat, maka mereka mempunyai kesadaran ikut terlibat dalam pencegahan terorisme,” ucapnya.
Baca juga Penyintas Bom Thamrin Melawan Trauma (Bag. 1)
Salah seorang peserta lain menanyakan tentang banyaknya generasi milenial yang ikut tertangkap dalam kaitan dengan serangan bom Gereja Katedral Makassar beberapa waktu lalu. “Mengapa kalangan milenial mudah terpapar paham-paham radikalisme? Apakah kalangan milenial memang menjadi sasaran terorisme?” katanya.
Dari hasil riset Solahudin, kebanyakan generasi milenial mutakhir bergabung dalam kelompok terorisme setelah terpapar paham ekstremisme kekerasan di media sosial. Hal ini mengingat mereka adalah kaum digital native yang sejak usia dini telah akrab dengan gawai dan jaringan internet.
Baca juga Penyintas Bom Thamrin Melawan Trauma (Bag. 2-Terakhir)
“Sejak lahir mereka sudah akrab dengan social media. Repotnya kemudian yang terjadi ketika mereka merasa perlu pengetahuan tentang agama, mereka cari pengetahuan tersebut secara online. Repotnya dunia online Indonesia dulu relatif dikuasai oleh narasi kekerasan,” katanya.
Padahal menurut Solahudin, sangat sulit mencari kedalaman pengetahuan dari media sosial. Situasi itulah yang menjadikan generasi milenial lebih mudah terpapar ekstremisme. Karena itu sangat penting bagi publik untuk memenuhi ruang jagat maya dengan konten-konten positif yang mendorong ke arah perdamaian, bukan narasi kebencian, hasutan, apalagi provokasi. [FL]
Baca juga Kebangkitan dan Ikhtiar Memaafkan