Berempati kala Kritis
Aliansi Indonesia Damai- Pagi menjelang siang, 9 September 2004, di dalam Bus Kopaja 66 beberapa penumpang tengah bersiap untuk turun. Salah satunya Navira Husna Novel, Mahasiswi STMIK Perbanas, yang telah berdiri di dekat pintu depan. Mendekati Halte Perbanas, kawasan Kuningan Jakarta Selatan, sang sopir memperlambat laju bus yang dikendarainya. Namun sebelum bus benar-benar berhenti, ledakan besar terjadi.
“Suara ledakannya menggelegar sangat keras. Seketika semua menjadi gelap berkabut. Pandangan saya benar-benar hilang,” ujar Navira menggambarkan situasi musibah yang menimpanya sekira 17tahun silam.
Baca juga Penyintas Bom Kuningan: Saya Terima Takdir Saya
Ledakan keras itu membuat tubuhnya seperti terombang ambing. Awalnya Navira mengira itu adalah gempa. Namun saat kondisi perlahan mulai terang kembali, ia baru sadar telah terjadi ledakan. Semua terlihat porak poranda. Mobil-mobil tampak hancur. Setelah berhasil turun dari bus dan menepi, ia baru menyadari bahwa rambut dan bajunya telah basah kuyup oleh darah.
Dalam situasi yang amat sangat kacau itu, ia melihat seorang anak SMA yang melompat bersamaan dengannya, jatuh dengan posisi kepala menghantam aspal. Ia meminta pertolongan para tukang ojek untuk membawa anak tersebut ke rumah sakit terdekat. Namun karena kondisinya yang sudah basah oleh darah, justru ia yang lebih dahulu dievakuasi ke rumah sakit.
Baca juga Inspirasi Pemaafan Penyintas
Shock yang Navira alami pascaledakan bom di depan kantor Kedutaan Besar Australia itu membuatnya tidak menyadari bahwa kepalanya terluka parah. Di tengah hiruk pikuk ruang instalasi gawat darurat Rumah Sakit MMC Jakarta yang penuh dengan korban bom, ia meminta tenaga medis untuk menolong seorang korban yang ia lihat mengalami cedera sangat parah di tangan kanannya.
Mendapati kepala Navira yang terus mengucurkan darah segar, alih-alih mendengarkan usulan Navira, tenaga medis justru menarik lengan Navira untuk disegerakan mendapatkan penanganan. “Kondisi kamu sudah sangat parah. Muka kamu sudah benar-benar pucat dan kamu kehabisan darah. Kamu harus segera ditangani karena kamu trauma pada kepala,” Navira mengenang ucapan suster yang menolongnya saat itu dengan mata berkaca-kaca.
Baca juga Membalas Kebencian dengan Kasih (Bag. 1)
Luka terbuka yang menyebabkan robeknya pembuluh darah kecil membuat Navira harus menerima 13 jahitan di kepalanya. Setelah luka di kepala mendapatkan penanganan, suster kemudian memeriksa secara menyeluruh kondisi fisik Navira. Dari pemeriksaan itu, diketahui terdapat dua luka robek yang cukup panjang di punggung kanan dan cedera bagian lengan. Secara keseluruhan Navira menerima lebih dari 20 jahitan.
Navira menjalani masa perawatan inap di rumah sakit sekira empat hari. Seluruh biaya pengobatan ditanggung oleh pemerintah. Ia memutuskan pulang meskipun sesungguhnya masih harus menjalani rawat inap. Sejak mengalami musibah itu, ia mengaku tidak bisa beristirahat. Pasalnya terlalu banyaknya kunjungan yang datang baik dari pemerintah maupun dari wartawan dalam dan luar negeri. Meskipun tidak merasa keberatan, namun kenyataannya hal itu membuatnya kelelahan.
Baca juga Membalas Kebencian dengan Kasih (Bag. 2-Terakhir)
Meskipun berkisah dan mengingat kembali peristiwa nahas itu membuatnya sedih, namun itu bukanlah masalah. Ia mengaku senang dapat berbagi pengalamannya sebagai korban aksi terorisme kepada orang lain. Ia berharap kisahnya dapat menginspirasi agar tidak ada lagi aksi-aksi kekerasan yang menimbulkan korban-korban tak bersalah.
Baca juga Kebangkitan dan Ikhtiar Memaafkan