27/08/2021

Ulama Sulsel Prihatin Ekstremisme Agama

Aliansi Indonesia Damai – Kegiatan Pelatihan Pembangunan Perdamaian di Kalangan Tokoh Agama kembali dihelat AIDA secara virtual pada 24-26 Agustus 2021. Acara diikuti oleh 40 tokoh agama dari wilayah Sulawesi Selatan. Sejumlah narasumber dihadirkan dari unsur penyintas, mantan pelaku terorisme, serta pakar.

Dalam salah satu sesi, sejumlah peserta menyampaikan pendapatnya atas materi yang telah dipaparkan oleh para narasumber. Salah seorang peserta mengaku menangis saat mendengarkan kisah para penyintas terorisme. Mereka merasa harus mulai andil dalam meluruskan makna jihad di kalangan generasi muda. Menurut dia, tujuan jihad adalah untuk melindungi dari kezaliman. Namun, saat ini jihad justru merugikan orang lain, termasuk kaum muslim sendiri.

Baca juga Ketangguhan Istri Korban Bom Kuningan

“Saya menangis kemarin waktu Ananda Andin (korban Bom Thamrin 2016: red) cerita perjalanannya. Kok ada orang yang melakukan seperti itu, yang bertentangan dengan syariat Islam. Padahal tujuan jihad itu tidak lain adalah untuk membumikan nilai-nilai kebenaran untuk kemajuan dalam membentuk perdamaian. Tapi apa yang terjadi sekarang ini justru seperti yang dialami oleh korban,” ucapnya.

Peserta lain memberikan pandangan bahwa Nabi Muhammad Saw pun tidak mengajarkan pemaksaan dalam bermasyarakat. Hal itu ia sampaikan menanggapi pemahaman kelompok ekstrem yang seringkali dengan mudah mengafirkan sesama muslim. Rasa haus akan kekuasaan memunculkan dampak negatif dalam beragama, termasuk terlalu kaku ingin memasukkan Al-Qur’an dalam konsep kenegaraan.

Baca juga Bersinergi Melawan Provokasi Kekerasan

“Sebagian saudara kita ingin masuk ke politik, mencoba untuk memasukkan konsep kenegaraan, seperti harus Al-Qur’an. Padahal Nabi sendiri dalam membuat dasar negara Madinah itu berdasar pada Piagam Madinah, kesepakatan bersama. Itu mencakup nilai-nilai agama juga, namun tidak secara eksplisit dikatakan Al-Qur’an,” ucapnya.

Pandangan hampir senada turut disinggung oleh Solahudin, peneliti jaringan terorisme, yang menjadi narasumber. Dalam hemat Solah, keinginan untuk menegakkan syariat Islam bukanlah sikap yang salah. Persoalan dan masalah mulai muncul ketika keinginan tersebut diwujudkan dengan menggunakan jalan kekerasan. “Yang jadi soal adalah ketika mereka sudah menggunakan jalan kekerasan. Itu yang jadi soal. Apalagi jalan kekerasan itu berupa aksi teror,” katanya.

Baca juga Pentingnya Saling Menyalehkan

Cita-cita penegakan syariat Islam bisa jadi dianggap sebagai sikap radikal oleh sebagian orang. Namun faktanya, pemahaman radikal belum tentu berarti negatif. Bagi Solahudin, makna radikalisme terus mengalami pergeseran hingga banyak yang mengartikan bahwa kelompok radikal sama dengan kelompok teroris. “Kelompok radikal belum tentu sama dengan kelompok teror. Selama mereka tidak menggunakan jalan kekerasan, tidak akan menjadi masalah,” katanya. [WTR]

Baca juga Menyerukan Semangat Perdamaian kepada Ulama Sulawesi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *