26/11/2021

Dialog Mantan Napiter dengan Siswa SMAN 6 Tasikmalaya

Aliansi Indonesia Damai- AIDA menggelar Dialog Interaktif Virtual “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di SMAN 6 Tasikmalaya, Jawa Barat, Senin (22/11/2021). Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian safari perdamaian virtual  AIDA di sejumlah SMA di kota tersebut.

Salah satu narasumber yang dihadirkan adalah Kurnia Widodo, mantan narapidana terorisme (napiter). Pernah berkecimpung dalam sejumlah kelompok teror, Kurnia akhirnya bertobat dan kembali ke jalan perdamaian. Kurnia yang dulunya menjadi instruktur peracikan bom, sekarang menjelma menjadi aktivis perdamaian.

Baca juga Mencegah Ekstremisme sejak Dini

Setelah menyimak kisah Kurnia, sejumlah siswa yang antusias mengajukan pertanyaan maupun komentar. Salah seorang peserta bertanya faktor yang membuat Kurnia keluar dari kelompok teror. Menurut Kurnia, memerluas wawasan dan sudut pandang adalah kunci terhindar dari pemikiran ekstrem nan sempit.

“Ketika saya mempelajari pemahaman yang berbeda dengan kelompok saya, saya mendapati bahwa kelompok saya dulu banyak cacatnya, termasuk masalah mudahnya mengkafirkan orang lain. Itu bisa dibantahkan. Selain itu, ketika bertemu korban, saya juga merasa bersalah,” tutur Kurnia.

Baca juga Dialog Siswa SMAN 1 Manonjaya dengan Mantan Napiter

Peserta lain bertanya, apakah Kurnia dan kelompoknya tidak memikirkan konsekuensi dari aksi-aksi teror itu. Kurnia menjawab, dulu dirinya tidak pernah memikirkan dampak ataupun konsekuensi dari perbuatannya. Karena ia menganggap semua orang yang ada di Indonesia ini adalah kafir. Meskipun kebanyakan berstatus muslim, tetap dianggap kafir karena tidak mengikuti keislaman versi kelompok Kurnia.

“Jadi kalau kita ngebom sana-sini kita tidak pernah memikirkan dampaknya. Kita merasa bebas melakukan itu. Kita juga tidak pernah memikirkan opini orang lain. Kita anggap seperti kata pepatah saja, ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’. Kalau memang ada yang menyudutkan, kita anggap seperti awal-awal kondisi Islam, terasingkan oleh lingkungan sekitar. Kita cuek saja,” ujar Kurnia.

Baca juga Kepala SMA Al Muttaqin: Generasi Mendatang Cinta Damai

Peserta lain bertanya tentang penyesalan Kurnia setelah keluar dari kelompok teror. Kurnia mengatakan, banyak sekali hal yang ia sesali setelah bertobat. Penyesalan terbesarnya adalah dulu dirinya mengajarkan cara-cara membuat bom yang kemudian dipakai untuk tindakan yang merusak oleh rekan-rekannya.

Ia juga juga menyesal keterlibatannya dalam kelompok ekstrem telah menjauhkannya dari para sahabat di sekolah dan kampus, karena menganggap mereka bertentangan dengan pahamnya. Hubungan dengan keluarganya juga putus. “Ketika bapak meninggal dan saya sedang berada di penjara, saya tidak bisa melayat. Bahkan sama anak istri sendiri, hubungan tidak harmonis lagi. Saya menomorduakan mereka demi jihad versi saya,” ucap Kurnia.

Baca juga Dialog Siswa SMA Al-Muttaqin Tasikmalaya dengan Penyintas Bom Bali

Pada bagian akhir, Kurnia berpesan agar siswa-siswi SMAN 6 Tasikmalaya dapat mewaspadai gerak-gerik kelompok teror. Ia memaparkan ciri-ciri orang yang sudah terpapar virus ekstremisme, di antaranya cara pergaulan dan sikap sehari-hari.

“Mereka cenderung membatasi diri. Kalau ngobrol, pembahasannya soal keharaman simbol negara, negara khilafah, dan tauhid. Mereka mudah mengkafirkan orang, termasuk orang tua sendiri. Kalau membuat pengajian, biasanya juga eksklusif, mojok-mojok,” kata Kurnia memungkasi. [FAH]

Baca juga Dialog Siswa SMAN 3 Blitar dengan Penyintas Bom Bali

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *