12/07/2023

Oleh-Oleh Haji: Perjuangan tanpa Kekerasan

Oleh: Hasibullah Satrawi
Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam

Secara umum, pelaksanaan ibadah haji sejauh ini bisa dikatakan berjalan lancar. Memang cukup banyak tantangan seperti jumlah total jemaah haji yang mencapai 1.845.045 orang (aawsat.com, 27/06), suhu panas di Makkah yang lebih dari 40 derajat Celsius, hingga kurangnya tenda di Mina. Tapi, semuanya masih bisa ditangani dan tidak berkembang menjadi lebih buruk. Saat ini jemaah haji mulai pulang ke negara masing-masing, termasuk jemaah haji dari Indonesia.

Ibadah haji bisa disebut sebagai ibadah nirkekerasan. Mengingat ibadah haji sarat dengan ketentuan dan larangan melakukan aksi kekerasan. Baik terhadap manusia, lingkungan, maupun makhluk-makhluk yang lain.

Baca juga Pesan Sam Altman bagi Pendidikan Indonesia

Sebagai contoh, orang yang berihram (termasuk untuk keperluan ibadah haji dan umrah) dilarang membunuh hewan-hewan (QS Al-Maidah: 95). Pun demikian, orang yang datang ke Makkah dilarang menebang pohon-pohonan dan memburu hewan buruan yang ada di sana (sesuai pesan salah satu hadis). Bahkan, orang yang melakukan ibadah haji dilarang berkata-kata kasar (rafats), berbuat kefasikan, dan melakukan perdebatan ataupun pertengkaran (QS Al-Baqarah: 198).

Oleh-oleh

Semangat dan visi perjuangan nirkekerasan dari ibadah haji sejatinya (juga) harus dijadikan sebagai ”oleh-oleh” ketika para jemaah haji pulang ke kampung halaman. Hingga semangat ibadah haji bisa turut serta mendorong terciptanya kehidupan masyarakat yang lebih menjunjung tinggi perdamaian, peduli terhadap kesehatan lingkungan, dan perhatian terhadap keberlangsungan margasatwa.

Pada tahap tertentu, ketentuan-ketentuan nirkekerasan seperti di atas dapat disebut sebagai indikator kemabruran atau kesuksesan ibadah haji seseorang. Dengan kata lain, bila ibadah haji seseorang diterima atau mabrur, yang bersangkutan akan semakin jauh dari pelbagai macam bentuk aksi kekerasan.

Baca juga Haji dan Jihad Ekologis

Dalam sebuah hadis ditegaskan, ada tiga indikator kemabruran atau kesuksesan haji seseorang. Yaitu berkata-kata baik (kalamut thayyib), memberi makanan (ith’amut to’am), dan menyebarkan salam atau perdamaian (ifsya’us salam).

Berkata-kata baik tentu banyak bentuknya, dari tidak menyinggung orang lain hingga tidak berkata buruk tentang dan kepada orang lain. Pun demikian memberi makanan yang bisa juga berarti solidaritas dan kepedulian sosial secara umum. Dan yang tak kalah penting tentu menyebarkan salam atau perdamaian yang tak bisa hanya diartikan sekadar mengucapkan salam saat bertemu dengan orang lain.

Perjuangan tanpa kekerasan

Pada tahun politik seperti sekarang, semangat nirkekerasan dan perjuangan tanpa kekerasan yang terdapat dalam ibadah haji perlu diperhatikan oleh semua pihak. Khususnya para elite politik dan calon pemimpin yang akan berkampanye dan bersaing dalam memperebutkan kepercayaan dari masyarakat pemilih. Hingga persaingan yang ada tidak sampai menghalalkan segala macam cara.

Pertemuan demi pertemuan di kalangan para elite belakangan semakin intensif. Termasuk pertemuan untuk menentukan bakal calon presiden (bacapres) maupun bakal calon wakil presiden (bacawapres) atau menentukan hal-hal terkait politik lain seperti visi-misi pemerintahan ataupun strategi pemenangan.

Baca juga Haji Mabrur, Haji Transformatif

Harus diakui bersama, perjuangan tanpa kekerasan masih menjadi tantangan yang serius di Indonesia, tidak hanya di kalangan elite, tapi juga di kalangan masyarakat pendukung. Di kalangan elite, penggunaan politik SARA atau provokasi primordial bisa dijadikan sebagai contoh dari salah satu bentuk nyata perjuangan dengan menghalalkan segala macam cara, termasuk dengan hal-hal yang bersifat kekerasan. Pun demikian penggunaan buzzer politik yang tak jarang menambah panas suasana. Hingga terjadi polarisasi yang berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat.

Mirisnya, di saat sebagian pendukung atau masyarakat terjebak dalam kubangan disharmoni atau polarisasi berkepanjangan akibat pemilu, mereka yang didukung tak jarang sudah berekonsiliasi dengan lawan-lawan politiknya.

Baca juga Haji, Momentum Penguatan Moderasi Beragama

Rekonsiliasi elite yang tak selalu diikuti masyarakat pendukung menunjukkan adanya perbedaan kultur politik. Di kalangan elite, kultur politiknya sedemikian cair dan pragmatis. Mungkin sebagian elite terlihat mudah konflik, tapi mereka juga mudah rekonsiliasi, sesuai dengan ”peribahasa kuno” yang sangat terkenal: di dunia politik tak ada musuh atau teman yang abadi. Karena yang abadi hanyalah kepentingan.

Sementara di kalangan masyarakat pendukung, kultur yang berkembang bercorak ideologis dan primordial. Pilihan politik bagi mereka bukan sekadar pilihan main-main, apalagi sekadar hiburan. Pilihan politik adalah pilihan ideologis yang tak jarang juga dipahami mengandung dimensi ukhrawi.

Baca juga Haji, Status, dan Pesan Kemanusiaan

Oleh karena itu, rekonsiliasi cepat pascapemilu di kalangan elite tentu penting. Tapi, yang jauh lebih penting adalah menghindari politik SARA ataupun provokasi primordial yang bisa memicu konflik di kalangan masyarakat pemilih. Dan yang paling penting lagi adalah perjuangan tanpa kekerasan. Inilah semangat dan ”oleh-oleh” dari ibadah haji.

*Artikel ini terbit di jawapos.com, edisi Jumat, 7 Juli 2023

Baca juga Baca Bukumu Sekarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *