01/09/2023

Menanti Pendidikan Ramah Anak

Oleh: Hijriati Meutia Dahlan
Senior Master Teacher Advokasi dan Pengembangan Masyarakat Sekolah Sukma Bangsa Bireuen

“Dalam kekerasan, kita akan melupakan siapa diri kita.” Kalimat singkat dari Mary McCarthy (1961) ini dan maraknya berita tentang kekerasan pada anak mengantarkan saya pada refleksi panjang tentang eksistensi sebagai manusia dan peran saya sebagai guru.

Sekelebat tentang kekerasan pada anak berseliweran di ingatan saya. Mulai dari kasus penganiayaan anak di Malang, Jawa Timur, oleh ibu dan teman lelakinya, kasus ibu pengamen memukul leher anaknya, hingga paling menyayat hati ialah kasus penganiayan dan pembunuhan anak oleh ibu dan ayah tirinya hanya karena sang anak lambat bicara. Semua kasus ini membuat saya berpikir, bagaimana bisa orangtua melupakan siapa dirinya? Apa yang salah dengan masyarakat kita?

Pendidikan adalah harapan

Tentu saja, tidak ada jawaban sederhana untuk pertanyaan-pertanyaan ini. Jika ada lingkungan yang penuh dengan semangat optimisme dan harapan, lingkungan tersebut adalah pendidikan. Meskipun demikian, kondisi pendidikan kita saat ini juga memerlukan perbaikan dalam merespons kekerasan.

Kita perlu jujur dan berani mengakui bahwa pendidikan kita tidak selalu menjadi tempat yang aman. Terkadang, pelaku pendidikan juga terlibat dalam tindakan kekerasan. Apabila rumah dan sekolah tidak lagi menjadi lingkungan yang aman bagi anak-anak kita, ke mana mereka akan pergi?

Baca juga Agustusan, Ada Pilu dalam Gelak Tawa

Karakter dinamis pendidikan yang selalu siap beradaptasi dengan perubahan masih menumbuhkan harapan kita. Sekolah seharusnya menjadi lingkungan yang bebas dari kekerasan, tempat anak-anak dibesarkan dengan nilai-nilai yang menolak kekerasan. Namun, mewujudkan impian ini bukanlah hal yang dapat dicapai dalam semalam, atau dengan merancang program-program semesteran atau tahunan saja.

Diperlukan usaha yang berkelanjutan, komitmen yang kuat, dan refleksi mendalam untuk menjadikan pendidikan sebagai lingkungan yang aman dan nirkekerasan. Setidaknya, itulah yang saya rasakan sebagai guru di sekolah yang selalu berupaya menyediakan pendidikan yang positif, damai, dan tentunya nirkekerasan.

Praktik baik

Terletak di Aceh, wilayah dengan sejarah kekerasan yang panjang, tiga Sekolah Sukma Bangsa (SSB) didirikan dengan semangat membantu anak-anak yang menjadi korban tsunami dan konflik. Saya yakin bahwa siapa pun yang memahami sejarah Aceh akan setuju bahwa usaha menciptakan pendidikan damai dan bebas dari kekerasan tidaklah mudah.

Baca juga Pendidikan dan Pencegahan Perundungan Digital

Namun, hal itu justru dijadikan peluang oleh pengelola Yayasan Sukma dengan membangun sistem yang dikenal dengan Manajemen Konflik Berbasis Sekolah (MKBS). Bahkan, ahli dalam bidang resolusi konflik dan pendidikan perdamaian diundang khusus untuk merancang dan mengelola kebijakan ini. Sampai usia 17 tahun SSB Aceh, tekad mulia dan kerja keras dari setiap perintis MKBS diteruskan setiap warga belajar di sekolah.

Namun, apakah perjalanan MKBS berlangsung dengan mudah? Apakah sekolah kami telah sepenuhnya bebas dari kekerasan? Tentu saja jawabannya tidak. Seperti halnya sekolah-sekolah lain yang sering mengalami tantangan dalam mewujudkan pendidikan nirkekerasan, kami juga mengalaminya. Penolakan, pengabaian, rasa pesimistis, hingga resistensi dari berbagai pihak pernah kami hadapi.

Baca juga Tahun Baru 1445 Hijriah Umat Islam Harus Berubah Nasib

Namun, satu hal yang membuat kami tetap teguh ialah keyakinan bahwa tindakan kami adalah benar. Meskipun terkadang harus mengulangi penjelasan, atau apa yang sudah kami sampaikan terkadang dilupakan, bahkan sering kali disalahkan, keyakinan bahwa usaha kami tidak akan sia-sia dan bakal memberikan hasil yang positif pada akhirnya mendorong kami untuk terus belajar dan bertahan.

Hari ini, kami bertekad memulai sebuah program yang disebut ‘Kelas MKBS’. Setiap Senin, selama sesi baseclass  bersama wali kelas, kami mengajak siswa berdiskusi mengenai topik esensial terkait pendidikan perdamaian. Topik-topik ini mencakup cara mengelola konflik, mengembangkan empati, seni negosiasi dan mediasi, konsep kekuasaan, hingga keterampilan mendengarkan yang baik.

Baca juga Oleh-Oleh Haji: Perjuangan tanpa Kekerasan

Saya yakin topik-topik ini bukanlah hal asing bagi siapa pun, terutama siswa yang sudah mencapai tingkat SMA. Bagi saya pribadi, tantangan dalam membimbing siswa berdiskusi ialah bagaimana saya mampu meresapi nilai-nilai dari topik ini ke dalam diri saya. Misalnya, saat membahas konflik dua minggu lalu, ada momen di mana saya harus meyakinkan siswa bahwa konflik sebenarnya adalah hal netral dan tidak perlu ditakuti. Karena itu, saya harus menjadi contoh pertama yang meyakini hal ini. Siswa perlu melihat saya sebagai seseorang yang dapat menghadapi konflik dengan sikap netral dan memiliki keterampilan untuk mengelolanya dengan bijaksana dan tepat.

Jika guru memiliki peran kunci dalam pendidikan perdamaian, langkah apa yang sebaiknya diambil sekolah? Jawabannya ialah mempersiapkan guru. Jika saya mengingat perjalanan kami menerapkan Kelas MKBS tanpa paksaan/penolakan, ini akan menghasilkan tulisan yang panjang. MKBS bukanlah program yang bisa dijalankan dalam beberapa bulan. Ada proses panjang yang menjadi dasarnya, yakni–salah satunya–menumbuhkan kepekaan melalui budaya refleksi dalam setiap pembelajaran atau kegiatan berakhir.

Baca juga Pesan Sam Altman bagi Pendidikan Indonesia

Bahkan setiap Sabtu, kami melaksanakan kegiatan yang disebut Morning’s Reflection, di saat setiap orang bergiliran berbagi refleksi tentang kehidupan, pembelajaran di kelas, atau fenomena sosial yang terjadi di sekitar kami.

Kegiatan refleksi yang kami jalani bukanlah tuntutan yang kami lakukan tanpa arahan. Sebelum diimplementasikan sebagai program, kami telah menjalani pelatihan khusus untuk melakukan refleksi secara teratur. Suatu waktu saat mengikuti pelatihan ‘Menjadi Manusia yang Reflektif’, kami berjalan mengelilingi desa untuk mencari dan mengamati hal-hal menarik yang dapat menjadi materi refleksi kami.

Baca juga Haji dan Jihad Ekologis

Setelah kembali ke tempat pelatihan, kami diminta untuk mencatat temuan dan kemudian merenungkannya. Kemudian, kami diminta untuk berbagi cerita dan menerima dukungan pada akhir sesi pelatihan. Dengan cara inilah kami melibatkan diri dalam aktivitas yang bertujuan mendukung pendidikan nirkekerasan.

Bisa saja tidak ada ilmu baru dari apa yang telah saya uraikan. Namun, semoga pada kalimat atau paragraf tertentu, tulisan ini bisa menyentuh kesadaran bahwa dalam sejarah manusia tidak pernah ada hal baik yang dihasilkan dari kekerasan. Maka, pendidikan yang menjadi satu-satunya harapan harus siap dan mantap menjadi tempat yang tidak hanya aman, tapi juga mampu menciptakan calon ibu, ayah, dan guru yang siap mengasih dan mengasuh generasi masa depan.

*Artikel ini terbit mediaindonesia.com, Senin 28 Agustus 2023

Baca juga Haji Mabrur, Haji Transformatif

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *