13/09/2023

Generasi Digital Harus Melakukan Detoksifikasi Teknologi

Oleh: Marcel Yap
Dosen Program Studi Sistem Informasi Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida)

Teknologi kini telah berkembang pesat. Internet yang dulunya lambat, kini bahkan lebih cepat bila dibandingkan kecepatan kita menghabiskan makanan cepat saji. Media sosial (medsos) yang dulunya hanya platform untuk berbagi momen, kini telah menjadi arena pertempuran ide, sarana pendidikan, dan bahkan lahan bisnis.

Tapi apa yang terjadi ketika garis antara dunia digital dan realitas mulai kabur? Generasi muda yang sering disebut sebagai digital natives, tumbuh dalam lingkungan yang mana keberadaan dunia daring (online) adalah norma, bukan pengecualian. Dari bangun tidur hingga tidur kembali, notifikasi smartphone tak henti-hentinya mengalir. Bagi banyak orang, rasa cemas mulai muncul saat baterai ponsel menunjukkan angka di bawah 20% atau saat sinyal wi-fi tiba-tiba menghilang.

Baca juga Melampaui Bayang-bayang Pendidikan

Pada dasarnya ketergantungan kita terhadap teknologi telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Tetapi pernahkah kita bertanya mengapa merasa perlu untuk memeriksa ponsel setiap beberapa menit? Mengapa kita merasa tidak nyaman saat berada di tempat yang tidak memiliki akses internet? Jawabannya sederhana, karena kita telah menjadi tergantung.

Generasi muda yang hidupnya tumpang tindih dengan munculnya teknologi canggih, menjadi kelompok yang paling rentan terhadap ketergantungan digital ini. Bagi mereka, dunia digital bukan hanya sarana hiburan, tetapi juga menjadi identitas. Namun, siapkah generasi ini membayar harganya?

Digital overload

Ada sebuah fenomena yang disebut sebagai digital overload. Untuk memudahkan pemahaman, bayangkan diri kita sebagai sebuah smartphone. Seiring dengan waktu dan penggunaan yang intensif, baterai kita mulai terkuras dan membutuhkan waktu untuk diisi ulang. Waktu isi ulang ini yang kita sebut sebagai momen recharge dari hiruk-pikuk dunia digital.

Sebaliknya, apa yang terjadi jika kita terus-menerus ‘terhubung’ tanpa henti? Pertama, masalah pada kesehatan mental. Gelombang notifikasi yang tak pernah berhenti, tekanan untuk selalu terlihat sempurna di media sosial, atau rasa FOMO (fear of missing out) dapat mempengaruhi kesehatan mental kita. Studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat meningkatkan risiko kecemasan dan depresi.

Baca juga Mewaspadai Konten Kotor Content Creator

Bayangkan, saat kita terlalu fokus pada apa yang orang lain lakukan dan miliki, kita mulai merasa tak cukup dengan diri sendiri. Selain itu, layar smartphone atau laptop yang menyala secara terus-menerus sebelum tidur dapat mengganggu pola tidur kita karena tidur menjadi kurang berkualitas. Sering kita mendengar anak muda yang mengalami sulit tidur sampai lewat tengah malam karena scrolling tak berujung.

Kedua, masalah pada kehidupan sosial. Ketika komunikasi lebih sering dilakukan melalui chat daripada percakapan tatap muka, kemampuan kita untuk berinteraksi dan membangun hubungan yang mendalam bisa terkikis. Kita mungkin memiliki ribuan teman di medsos, tetapi berapa banyak di antara mereka yang kita kenal dengan baik.

Baca juga Menanti Pendidikan Ramah Anak

Ketiga, penurunan produktivitas dan kualitas kerja. Mungkin kita merasa produktif dengan banyak tab yang terbuka di browser kita, multitasking antara chat, pekerjaan, dan medsos. Namun kenyataannya, kita hanya mengalihkan perhatian kita dan memperlambat proses kerja. Kualitas pekerjaan kita juga menurun karena kita tidak fokus sepenuhnya.

Teknologi dalam kurikulum

Di era digital saat ini, program studi (prodi) sistem informasi memainkan peran yang sangat kritikal. Artinya mengajarkan mahasiswa bagaimana mendesain, mengembangkan, dan mengimplementasikan sistem yang memudahkan kehidupan manusia. Namun ironisnya, lulusan dari prodi ini juga bertanggung jawab atas meningkatnya ketergantungan masyarakat terhadap teknologi. Jadi, bagaimana prodi sistem informasi menjembatani hal ini?

Pertama, pemahaman tentang digital detoks memberi kesadaran bagi mahasiswa prodi studi informasi mengenai dampak psikologis dan sosial dari solusi yang mereka ciptakan. Meskipun aplikasi dan platform yang mereka kembangkan mungkin memberikan kemudahan dan efisiensi, mereka juga harus mempertimbangkan bagaimana teknologi tersebut dapat mempengaruhi kesehatan mental penggunanya.

Baca juga Agustusan, Ada Pilu dalam Gelak Tawa

Kedua, prodi sistem informasi dapat mengintegrasikan prinsip-prinsip desain yang mendorong penggunaan teknologi yang lebih sehat dan bertanggung jawab. Contohnya, desain antarmuka yang tidak memicu kecanduan atau memberikan notifikasi yang berlebihan, atau mengembangkan aplikasi yang membantu pengguna untuk mengatur waktu layar mereka dan memberikan peringatan ketika mereka telah menghabiskan banyak waktu di depan layar. Kita menyebutnya sebagai human-centered design.

Ketiga, dengan memahami kebutuhan akan digital detox, mahasiswa prodi sistem informasi dapat menjadi inovator dalam menciptakan solusi teknologi yang mendukung kesehatan mental dan fisik pengguna. Bayangkan aplikasi yang bukan hanya berfokus pada produktivitas, tetapi juga pada mindfulness, atau bahkan menyarankan aktivitas non-digital sebagai alternatif.

Baca juga Pendidikan dan Pencegahan Perundungan Digital

Dengan kata lain, wawasan tentang digital detox menjadi bagian integral dari kurikulum prodi sistem informasi. Hal ini bukan hanya tentang mengembangkan teknologi, tetapi juga memahami dampak kepada manusia sehubungan dengan penggunaan teknologi tersebut. Dengan menggabungkan prinsip-prinsip digital detoks ke dalam kurikulum, lulusan prodi sistem informasi dapat berkontribusi dalam menciptakan dunia digital yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Apa dan mengapa digital detox?

Digital detox dapat didefinisikan sebagai periode seseorang dengan sengaja menjauhkan diri dari perangkat elektronik seperti smartphone, komputer, atau televisi. Tujuannya? Jelas untuk mengurangi stres, meningkatkan kesehatan mental, dan memperdalam hubungan interpersonal. Konsep ini bukanlah konsep yang baru, karena konsep ini mirip dengan saat kita memilih untuk berpuasa makanan untuk ‘membersihkan’ tubuh kita.

Mengapa kita perlu ‘membersihkan’ diri dari dunia digital? Pertama, untuk meningkatkan kualitas tidur. Mengurangi paparan cahaya biru dari layar sebelum tidur dapat membantu meningkatkan kualitas tidur. Kedua, ketika kualitas tidur membaik, kita memiliki energi dan clarity untuk mendapatkan perspektif yang lebih jernih tentang realitas dan meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan sekitar. Ketiga, dalam rangka meningkatkan produktivitas, tanpa gangguan dari notifikasi yang terus-menerus, kita dapat benar-benar fokus pada tugas yang ada di depan mata.

Baca juga Tahun Baru 1445 Hijriah Umat Islam Harus Berubah Nasib

Di tengah banyaknya ulasan tentang dampak negatif teknologi, tidak sedikit yang lupa bahwa teknologi juga memiliki potensi besar untuk menjadi solusi, bukan hanya sumber masalah. Bagaimana kita dapat menggunakan teknologi untuk mengatasi teknologi. Berikut adalah beberapa contoh bagaimana teknologi dapat membantu kita untuk mengatasi teknologi;

1. Aplikasi dan platform yang mendukung kesehatan mental Dalam beberapa tahun terakhir, aplikasi meditasi, seperti headspace dan calm mendapatkan popularitas karena membantu banyak orang menemukan ketenangan di tengah kesibukan. Aplikasi semacam daily haloha atau daylio dapat membantu pengguna melakukan self-reflection, melacak mood mereka, memberikan insight mengenai pola emosi, dan memberi saran tindakan yang dapat diambil untuk meningkatkan kesehatan mental.

Baca juga Oleh-Oleh Haji: Perjuangan tanpa Kekerasan

2. Prinsip-prinsip desain yang mendukung penggunaan teknologi yang bertanggung jawab. Desainer produk digital kini semakin sadar tentang tanggung jawab etika mereka, mulai dari pengaturan notifikasi yang kurang mengganggu, mode ‘tidur’ yang menenangkan pikiran sebelum tidur, hingga fitur pengingat untuk mengambil jeda dari layar. Prinsip desain yang bertanggung jawab ini mendorong kita untuk menggunakan teknologi dengan cara yang lebih sehat dan sadar.

3. Teknologi yang mendorong interaksi sosial yang sehat. Tidak semua teknologi mengarahkan kita pada isolasi. Aplikasi dan platform, seperti meetup atau eventbrite, memungkinkan orang-orang untuk bertemu dan berpartisipasi dalam acara atau kegiatan di dunia nyata berdasarkan minat mereka. Teknologi VR (virtual reality) dan AR (augmented reality) kini juga digunakan untuk mendorong interaksi sosial melalui game atau simulasi yang mengharuskan kerja sama dan komunikasi antarpemain.

Baca juga Pesan Sam Altman bagi Pendidikan Indonesia

Sangat penting untuk diingat bahwa teknologi adalah alat, dan bagaimana kita menggunakannya yang menentukan dampaknya terhadap kita. Dengan memilih teknologi yang mendukung keseimbangan dan kesejahteraan, kita dapat memastikan bahwa kita mendapatkan manfaat maksimal dari inovasi, tanpa mengorbankan kesehatan mental dan hubungan sosial.

Akhirnya, anak muda harus mengingat bahwa mereka memiliki kekuatan untuk memilih, mengendalikan, dan memanfaatkan teknologi dengan cara yang paling sesuai untuk mereka. Teknologi bisa menjadi teman, bukan musuh, jika kita memahami bagaimana cara menggunakannya dengan bijak.

*Artikel ini terbit di mediaindonesia.com, edisi Rabu 06 September 2023

Baca juga Haji dan Jihad Ekologis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *