21/02/2024

Kembali Bersatu Pasca-Pemilu: Belajar dari Penyintas dan Mantan Pelaku

14 Februari lalu bangsa Indonesia telah menyelesaikan pesta demokrasi lima tahunan, pemilihan umum (pemilu), dengan riang gembira. Setiap warga yang memiliki hak suara telah menentukan calon pemimpin untuk lima tahun ke depan melalui bilik suara.

Semua orang kini menunggu hasil penghitungan resmi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU). Apa pun hasilnya nanti, semua elemen hendaknya menerima sebagai bentuk ketaatan terhadap konstitusi. Selain itu, hasil resmi yang diumumkan KPU kelak sesungguhnya merupakan hasil keputusan atau suara rakyat Indonesia.

Baca juga Refleksi Sewindu Bom Thamrin

Kita patut bersyukur pelaksanaan pesta rakyat kali ini berjalan relatif lancar dan damai tanpa ada gangguan berarti yang berpotensi merusak kohesi sosial. Berkaca dari dua penyelenggaraan pemilu sebelumnya, tahun 2014 dan 2019, kita menyaksikan ketegangan politik selama pemilu tak hanya terjadi di kalangan elit saja namun menjalar hingga ke akar rumput. Masyarakat pun terbelah atau terpolarisasi hanya soal perbedaan pilihan politik, tentang siapa calon presiden dan calon wakil presidennya. Dan, keterbelahan itu dirasakan dalam waktu sangat lama, sampai bertahun-tahun. Kohesi sosial kala itu seolah benar-benar di ujung tanduk menuju perpecahan akibat polarisasi yang begitu kuat dan mengkristal.

Sekali lagi, kita sangat bersyukur polarisasi dalam pemilu tahun ini tidak sekuat sebelumnya. Keberhasilan pelaksanaan pemilu yang demikian tak luput dari semakin dewasanya masyarakat dalam menyikapi perbedaan pilihan politik, belajar dari kontestasi pemilu sebelumnya. Di samping itu, kesiapan negara dan pesan pemilu damai yang disampaikan sejumlah kalangan seperti pemuka agama, tokoh masyarakat, dan akademisi juga mengambil peran dalam menyukseskan ajang pesta demokrasi.

Baca juga Setop Kekerasan, Belajar dari Kisah Korban

Kekurangan dan dugaan kecurangan yang hampir pasti ada di setiap penyelenggaraan pemilu harus dijadikan sebagai catatan penting untuk diambil pembelajarannya (‘ibroh) demi perbaikan gelaran pemilu berikutnya. Kalau tidak, jangan harap kontestasi pemilu berikutnya akan lebih baik, bahkan bisa saja akan lebih buruk dari sekarang.

Kini, pilpres telah usai. Seyogianya semua elemen masyarakat kembali bersatu untuk terus membangun dan memajukan negeri tercinta. Sudah saatnya kita menanggalkan semua atribut politik termasuk sentimen tertentu yang muncul selama pemilu kemarin. Kita jangan terus terjebak dalam pertarungan politik hingga menggerus nilai persaudaraan dan silaturahmi yang tentunya jauh lebih penting dari sekadar ajang suksesi kepemimpinan. Pemilu atau pemilihan presiden mestinya dipandang sebagai hajatan rutin lima tahunan yang wajar, dan bisa semakin mendewasakan rakyat untuk hidup dalam iklim demokrasi. Calon pemimpin terpilih seketika mengayomi seluruh rakyat, baik yang memilihnya maupun yang mendamba lawan politiknya. Demikian pula rakyat, terkhusus masyarakat di akar rumput, hendaknya legawa menerima calon pemimpin definitif sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan Indonesia.

Baca juga Peringatan Korban Terorisme, Momen Membangun Masa Depan yang Damai

Terkait hal ini, laik dikaji secara mendalam inspirasi rekonsiliasi antara penyintas aksi terorisme dan mantan pelaku terorisme yang telah bertobat. Temuan AIDA di lapangan menunjukkan, rekonsiliasi dua pihak yang “berlawanan” tersebut mampu diwujudkan berkat dorongan untuk saling berlegawa dari internal masing-masing. Secara kasatmata, korban sangat berhak di mata hukum untuk membalas perbuatan para pelaku terorisme dengan kadar yang setimpal lantaran telah menimpakan penderitaan yang luar biasa. Secara kasatmata pula, bisa saja para mantan pelaku tak acuh terhadap para korban sebab aksi yang mereka lakukan dianggap sebagai perjuangan untuk membela agama. Akan tetapi, dalam rekonsiliasi yang terbentuk di antara korban dan mantan pelaku terorisme yang difasilitasi AIDA, segala yang kasatmata di atas luntur oleh semangat perdamaian dalam diri mereka. Para mantan pelaku bersadar diri untuk memelas maaf kepada korban yang terdampak akibat paham kekerasan yang pernah mereka yakini. Gayung bersambut, para penyintas pun berlapang hati menerima permintaan maaf mantan pelaku. Sebagian penyintas menuturkan, kejadian teror yang telah terjadi adalah titah Tuhan yang harus dijalani, dan membalas dendam tidak akan mengembalikan segala sesuatu yang telah pergi. Kedua pihak mengesampingkan ego masing-masing demi tujuan mulia yang mereka junjung bersama-sama, yakni perdamaian.

Ke depan masih banyak tantangan yang bakal dihadapi bangsa ini. Indonesia membutuhkan kolaborasi pelbagai pihak untuk melampauinya. Karena itu, mari kita bersatu untuk Indonesia damai, kita serap pembelajaran dari rekonsiliasi korban dan mantan pelaku terorisme.

Baca juga Haji Duta Perdamaian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *