Haji Duta Perdamaian
Sekira 250 ribu peziarah haji Indonesia sejatinya merupakan duta perdamaian. Tidak saja ketika berangkat ke Tanah Suci menjadi duta perdamaian kita di Arab Saudi, tetapi juga sepulangnya ke Tanah Air menjadi pribadi yang menjunjung perdamaian.
Dalam rangkaian ritual ibadah haji terkandung nilai persaudaraan (ukhuwah). Para hujjaj (jamaah haji) dari negara lain mungkin bukan saudara kita sebangsa, namun mereka tetap saudara kita seiman (ukhuwah Islamiyah), sesama manusia (ukhuwah basyariyah), bahkan sesama makhluk Tuhan (ukhuwah makhluqiyah). Layaknya persaudaraan, setiap orang yang pergi haji dituntut untuk saling bekerja sama, menguatkan kohesi sosial agar sama-sama sukses menjalani syarat, rukun, dan wajib haji secara tertib, mengesampingkan persoalan atau bahkan pertikaian politik lintas negeri.
Baca juga Tajuk Idul Fitri Menjadi Pribadi Pemenang
Tuhan melarang para hujjaj melakukan perbuatan-perbuatan yang merusak perdamaian. Dalam QS. Al-Baqarah: 197 disebutkan larangan dalam berhaji, yakni rafats (hubungan seks), fusuq (perbuatan fasik atau kemaksiatan secara umum), dan jidal (debat kusir atau berbantah-bantahan dalam hal yang tidak berguna hingga menimbulkan permusuhan atau mengganggu ketenteraman).
Menurut sebagian ulama dengan mengutip pendapat sahabat Ibnu Abbas, termasuk kategori fusuq adalah mencaci, takabur, menyakiti orang lain baik dengan perbuatan maupun perkataan, berbuat zalim, merusak alam, mengganggu binatang atau tanaman tanpa alasan yang dibenarkan syariat. Sementara itu, terkait dengan jidal, para ulama berpendapat bahwa diskusi dua pihak atau lebih dengan tata krama dan kesantunan dalam rangka menjelaskan kebenaran bukanlah termasuk berbantah-bantahan yang dilarang dalam berhaji.
Baca juga Obituari Buya Syafi’i: Selamat Jalan, Sang Pencerah!
Pengamalan ibadah haji dituntut untuk ditempuh secara damai. Setiap diri yang berhaji wajib menahan diri untuk tidak menimbulkan gangguan terhadap pihak lain. Tidak dibenarkan orang berhaji saling sikut-sikutan, saling dorong, apalagi na’udzu billah sampai menyakiti saudaranya sesama jamaah haji. Pengalaman masa lalu di mana pernah terjadi tragedi jamaah haji tewas karena berdesakan dan terinjak wajib menjadi pelajaran bagi semua pihak, baik peziarah maupun pengelola.
Seorang alim asal Minang, Buya Hamka, berpandangan bahwa orang berhaji dengan bertawaf mengelilingi Ka`bah sejatinya mencari kedamaian. Diawali ketika peziarah memasuki kompleks Masjid Al-Haram melalui salah satu gerbangnya yang bernama Bab Al-Salam (Pintu Kedamaian), di mana diriwayatkan Rasulullah Saw melalui pintu tersebut saat berhaji. Perjalanan mereka dalam menyempurnakan ritual haji dengan puncaknya berwukuf di Padang Arafah, sejatinya merupakan jalan panjang mendamba rahmat dan rida Yang Mahadamai, yang dari-Nya kedamaian bersumber, begitu pula kedamaian kembali kepada-Nya. Dialah satu-satunya yang mampu menghidupkan manusia dalam kedamaian, serta memasukkan manusia ke dalam surga, singgasana perdamaian.
Baca juga Mendorong Peningkatan Rehabilitasi Medis dan Psikologis Korban
Perintah setiap peziarah haji untuk berjiwa damai dikuatkan dengan larangan berburu dan menebang pohon bagi setiap orang yang berada di Tanah Al-Haram, Makkah Al-Mukarramah, yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Ibnu Abbas Ra. Khusus terkait larangan tebang pohon, redaksinya sangat gamblang, “Tidak boleh dipotong rerumputannya, tidak pula pepohonannya.” Maknanya, mengganggu makhluk ciptaan Tuhan sangat terlarang dilakukan di Tanah Suci. Wabil khusus terhadap manusia, apa pun ras, warna kulit, jenis rambut, bahasa, budaya, dan adat istiadatnya, setiap peziarah haji wajib bersikap saling menghormati dan berlaku damai.
Teriring doa semoga para hujjaj diterima ibadahnya dan mendapat keutamaan pahala (mabrur). Pun selebihnya, setelah kembali dari Tanah Suci semoga mampu memberikan kontribusi dalam melestarikan nikmat kedamaian baik di Indonesia maupun di seluruh dunia.
Baca juga Peringatan Bom Bali: Momentum Penguat Persaudaraan