MK Perpanjang Masa Pengajuan Kompensasi Korban Terorisme
Aliansi Indonesia Damai- Mahkamah Konstitusi (MK) memperpanjang tenggat waktu masa pengajuan kompensasi korban terorisme menjadi sepuluh tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Hal itu ditetapkan dalam putusan Nomor 103/PUU-XXI/2023 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 yang diajukan oleh tiga korban aksi terorisme masa lalu. Sidang pembacaan putusan disampaikan MK pada 29 Agustus lalu yang dihadiri para Pemohon, DPR, Presiden, Pihak Terkait BNPT, dan Pihak Terkait LPSK.
Dalam amar putusan, MK menyatakan frasa “3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku” dalam Pasal 43L ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku”.
Sebagai informasi, 21 Agustus tahun lalu, tiga korban aksi terorisme masa lalu mengajukan Permohonan Pengujian Materiil Konstitusionalitas Pasal 43L ayat (4) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU 5/2018) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ketiga Pemohon —terdiri atas: satu orang korban aksi teror bom di Pasar Tentena, Poso pada 28 Mei 2005; dan dua orang korban ledakan bom di Beji, Depok pada 9 September 2012— meminta MK membatalkan ketentuan pengajuan kompensasi paling lama tiga tahun terhitung sejak UU berlaku.
Menurut Pemohon, ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Lantaran pembatasan waktu pengajuan kompensasi, mereka sebagai korban terorisme ‘tercecer’ dari hak tersebut.[AS]