Menemukan Kedamaian di Tengah Kegelapan

Aliansi Indonesia Damai- Memaafkan mudah diucapkan, namun tidak semua orang mampu mengamalkannya. Bagi seseorang yang pernah mengalami penderitaan mendalam akibat tindakan orang lain, pemaafan atau memaafkan terkadang dianggap hal yang mustahil. Apalagi seseorang harus kehilangan sosok terkasih dan tersayang dalam hidupnya maupun kehilangan atau kerusakan anggota tubuhnya.

Namun, faktanya ada sebagian orang yang mampu memaafkan orang lain yang pernah membuat hidupnya menderita bertahun-tahun, bahkan hingga akhir hayatnya. Salah satunya, Mulyono, seorang korban aksi terorisme di depan Kedutaan Besar Australia Jakarta, 9 September 2004 silam. Aksi terorisme tersebut tidak hanya menyebabkan kerusakan bangunan, tetapi juga menelan korban jiwa, melukai jiwa, dan merusak kehidupan.

Baca juga Suara yang Tak Boleh Terlupakan

Ledakan bom berdaya ledak tinggi, mengakibatkan rahang Mulyono hancur. Ia harus menjalani operasi rekonstruksi rahang berkali-kali dan perawatan medis jalan di rumah sakit Jakarta, Singapura hingga Australia. Bahkan, ia terus minum obat dan menjalani check-up medis hingga sekarang. Akibat ledakan itu, Mulyono sempat marah pada pelaku terorisme.

Rasa sakit dan kemarahan yang ia rasakan seakan mengoyak jiwa. Setelah bertahun-tahun berduka, Mulyono mulai menyadari kemarahan dan kebencian hanya semakin memperburuk penderitaanya. Dalam perjalanan spiritual dan psikologisnya, ia berusaha untuk mengerti mengapa seseorang bisa melakukan tindakan sekejam itu. Ia pun mulai berdoa dan mencari ketenangan dengan mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Baca juga “Bertemu Sesama Korban Menambah Semangat Hidup”

Pada awalnya, pemaafan tampak seperti hal yang mustahil. Namun, seiring berjalannya waktu, Mulyono menemukan sesuatu yang membantunya menjadi pribadi yang tenang. Ia memutuskan untuk memaafkan pelaku/mantan pelaku terorisme, sebuah keputusan yang tidak datang dengan mudah. Ia menghadapi banyak tantangan, termasuk dari orang-orang di sekitarnya.

Ketika memaafkan, Mulyono merasakan beban berat terangkat dari bahunya. Ia menganggap pemaafan sebagai langkah menuju penyembuhan dan membebaskan dirinya dari belenggu kemarahan dan kebencian.

Baca juga Naluri Menolong Sesama Insan

Mengikhlaskan adalah proses lanjutan dari pemaafan. Setelah memaafkan, mengikhlaskan adalah langkah yang membantunya untuk sepenuhnya melepaskan rasa sakit dan berdamai dengan masa lalunya. Mengikhlaskan tidak hanya menganggap tindakan pemaafan sebagai kata-kata kosong, tetapi sebagai sebuah sikap hidup.

Mulyono mulai berfokus pada hal-hal yang membangun dan memberi makna baru dalam hidupnya. Ia terlibat aktif dalam program dukungan bagi korban terorisme lainnya dan menggunakan pengalaman hidupnya untuk memberikan inspirasi dan harapan kepada mereka. Dengan cara ini, ia mengubah rasa sakitnya menjadi kekuatan positif yang membantu orang lain.

Baca juga Kedamaian di Dalam Diri

Keputusan Mulyono untuk memaafkan dan mengikhlaskan tidak hanya mempengaruhi dirinya sendiri, tetapi juga para korban terorisme lainnya. Ia menjadi simbol kekuatan dan harapan, bahwa meskipun kehidupan dipenuhi tragedi dan penderitaan, tapi manusia masih memiliki kapasitas untuk menemukan kedamaian dan membangun kembali. Kisahnya mengajarkan bahwa pemaafan bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan dan keberanian untuk terus maju.

Baca juga Mensyukuri “Hidup Kedua”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *