17/12/2024

Narasi Sebuah Bangsa Hebat

Oleh: Imam Mujahidin Fahmidi,
Guru Besar Universitas Hasanuddin

Kita butuh narasi yang dapat menjadi sumber inspirasi dunia. Sudah lama bangsa Indonesia yang hebat ini kehilangan narasi.

Dalam sejarah manusia, narasi telah menjadi roh bagi kebangkitan peradaban. Ia bukan sekadar cerita—ia adalah fondasi dari tindakan kolektif, alasan keberadaan, dan peta menuju masa depan.

Kita, Indonesia, kaya akan warisan budaya, mitologi, dan tradisi. Namun, kemiskinan narasi besar yang mengakar di level geopolitik dan peradaban membuat kita berjalan tanpa arah yang jelas.

Baca juga Di Balik Ambruknya Rezim Al-Assad di Suriah

Negara lain, seperti India, Israel, bahkan Palestina, telah membangun narasi besar yang tak hanya membentuk jati diri bangsa mereka, tetapi juga memengaruhi cara dunia memandang mereka.

Pertanyaan mendesak bagi kita adalah: mengapa Indonesia tidak melakukan hal serupa? Bagaimana narasi besar itu dapat mengangkat kita dari bayang-bayang kolonialisme menuju relevansi global?

Belajar dari narasi besar dunia

India, seperti Indonesia, adalah bangsa yang lahir dari peradaban kuno. Perbedaannya terletak pada cara mereka membingkai sejarah dan warisan.

Mereka tidak hanya berhenti pada kebanggaan internal tentang Mahabharata atau Ramayana. Mereka melampaui itu, menawarkan narasi kepada dunia bahwa India adalah gudang spiritualitas, pengetahuan matematika, dan sumber dari banyak agama.

Ketika angka nol diperkenalkan oleh matematikawan India, itu tidak hanya penemuan teknis; itu adalah peradaban yang berbicara kepada dunia tentang kemampuan manusia berpikir abstrak.

Baca juga Pendidikan sebagai Seni Pembudayaan

India juga menempatkan dirinya sebagai pusat spiritualitas global. Yoga, Ayurveda, dan filsafat Hindu-Buddha tak hanya jadi kebanggaan lokal, tetapi ekspor budaya yang mengukuhkan posisi India sebagai pusat moral dan etis dunia.

Bahkan, diaspora mereka, dari Sundar Pichai hingga Satya Nadella, membawa narasi itu ke ruang rapat perusahaan teknologi raksasa di Silicon Valley. Mereka tidak hanya orang India di luar negeri; mereka adalah personifikasi dari narasi besar India.

Contoh lain, lihatlah Israel, sebuah negara kecil di Timur Tengah yang lahir dari abu Holocaust. Dalam narasi mereka, Israel tidak hanya sebuah negara; ia adalah pemenuhan janji Ilahi. Narasi itu sederhana, tetapi kuat: ”Kami adalah bangsa yang dijanjikan.”

Baca juga Catatan Guru untuk Melajukan Pendidikan Indonesia

Dalam narasi ini, tanah yang mereka pijak adalah tanah yang telah mereka dambakan selama ribuan tahun. Ini tidak hanya cerita religius, tetapi narasi geopolitik yang sangat strategis. Narasi inilah yang memungkinkan Israel bertahan di tengah tekanan luar biasa dari negara-negara di sekitarnya.

Namun, narasi besar mereka tidak berhenti pada keagamaan semata. Israel juga memproyeksikan diri sebagai ”Startup Nation”, sebuah bangsa kecil dengan inovasi besar. Mereka menunjukkan bahwa, bahkan negara dengan sumber daya alam yang terbatas, dapat menjadi pusat teknologi dunia. Ini narasi keberanian dan kecerdikan yang membuat mereka relevan di dunia modern.

Sebaliknya, Palestina menawarkan narasi berbeda: narasi tentang penderitaan dan perjuangan. Mereka simbol dari ketidakadilan modern, sebuah bangsa yang kehilangan tanah airnya, tetapi tetap berdiri teguh melawan penindasan.

Baca juga Trauma dan Potensi Kekerasan yang Meluas

Narasi ini memiliki daya tarik moral yang kuat, menggerakkan simpati dan solidaritas dari berbagai penjuru dunia. Meski narasi mereka sering kali dihadapkan pada narasi Israel, ia tetap menjadi dasar dari perjuangan mereka, sebuah alasan untuk tetap eksis meski dalam situasi yang hampir tak mungkin.

Indonesia, dengan segala kekayaan budayanya, seharusnya memiliki modal yang cukup untuk membangun narasi besar. Kita memiliki cerita yang jauh lebih panjang dan kompleks dari Mahabharata—kisah Sawerigading dan I Lagaligo dari tanah Bugis, kisah Ramayana yang diadaptasi dalam wayang kulit, hingga cerita tentang penciptaan dunia dalam mitologi Nusantara.

Namun, apa yang kita lakukan dengan semua itu? Kita membiarkannya menjadi artefak lokal, dipuja dalam museum, tetapi tidak pernah dijadikan narasi kolektif untuk dunia.

Baca juga ”Golden Period” Perang Israel-Iran

Narasi kita tentang ”negara besar”, ”negara hebat” juga sering kali kosong. Apa artinya menjadi negara besar dan hebat jika tidak ada alasan mendasar yang kita tawarkan kepada dunia?

Kita berbicara tentang kekayaan sumber daya alam, tetapi lupa bahwa narasi yang kuat bukan hanya tentang apa yang kita miliki, melainkan apa yang kita representasikan. Kita adalah bangsa dengan 17.000 pulau, 700 bahasa, dan keberagaman yang luar biasa.

Namun, di mana narasi yang mengangkat keberagaman itu menjadi pesan global? Di mana narasi yang mengubah pengalaman kita sebagai bekas jajahan menjadi inspirasi untuk pembebasan dan keadilan dunia?

Baca juga Memperhatikan Ruang Aktual Pendidikan

Narasi besar bukan sekadar cerita; ia adalah alat strategis. Lihatlah bagaimana Amerika Serikat membingkai dirinya sebagai ”Land of the Free” atau bagaimana China membangun narasi tentang ”Kebangkitan Kembali Bangsa Tionghoa”.

Narasi itu memberi mereka arah, alasan untuk bertindak, dan alat untuk memengaruhi dunia.

Indonesia membutuhkan narasi baru yang tidak hanya memuja masa lalu, tetapi juga membayangkan masa depan. Kita harus melampaui retorika ”kita adalah bangsa besar yang hebat” menuju narasi yang lebih substansial.

Mungkin narasi itu adalah tentang bagaimana Indonesia, dengan keberagaman dan kekayaan budayanya, menjadi laboratorium global untuk toleransi. Atau mungkin narasi itu adalah tentang bagaimana kita, sebagai negara maritim, jadi penjaga ekosistem samudra dunia.

Menulis ulang masa depan

Seperti yang diajarkan Bung Karno, narasi besar tidak hanya menjadi alasan untuk bangga, tetapi juga untuk bertindak. Narasi itulah yang seharusnya membebaskan kita dari keresahan kolonialisme dan memberikan kita pijakan di geopolitik.

Dunia tak akan menunggu kita menyelesaikan internalisasi tentang siapa kita. Dunia bergerak maju. Jika kita tak menawarkan narasi yang relevan, kita akan tertinggal sebagai pengamat sejarah.

Narasi itu harus dimulai dari hal sederhana: pendidikan. Generasi muda Indonesia harus diajarkan tentang mitologi kita tidak hanya sebagai cerita rakyat, tetapi juga sebagai landasan filosofi dan strategi. Mereka harus diajarkan bahwa Indonesia tidak hanya negara besar dan hebat, tetapi juga negara yang memiliki misi besar untuk dunia.

Baca juga Pemuda Bela Negara dan Indonesia Emas 2045

India mengajarkan kepada dunia tentang angka nol. Israel mengajarkan tentang keberanian dan inovasi. Palestina mengajarkan tentang perlawanan terhadap ketidakadilan.

Indonesia harus mengajarkan dunia tentang harmoni di tengah keberagaman, tentang bagaimana kita bisa menjadi jembatan antara Timur dan Barat, antara masa lalu dan masa depan.

Narasi besar bukan hanya soal sejarah atau mitologi; ia adalah alasan kita bertindak, alasan kita ada. Tanpa narasi itu, kita hanyalah kumpulan pulau yang terapung di lautan. Dengan narasi itu, kita adalah sebuah bangsa yang memiliki tujuan. Maka, mari kita mulai menulis narasi itu, tidak hanya untuk kita sendiri, tetapi juga untuk dunia.

Sebuah narasi yang membuktikan bahwa Indonesia adalah suara dari harmoni, keadilan, dan masa depan yang lebih baik. Sebuah narasi yang layak untuk dikenang dalam sejarah manusia.

*Artikel ini telah tayang di laman kompas.id edisi Senin 16 Desember 2024

Baca juga Hari Santri dan Pemimpin Baru Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *