Trauma dan Potensi Kekerasan yang Meluas
Oleh: Muhammad Saiful Haq,
Master Psikologi dari UIN Syarif Hidayatullah Ciputat
Salah satu dampak psikologis yang paling sering dialami korban terorisme adalah trauma. Dampak mental tersebut melengkapi luka-luka fisik yang dialami akibat musibah yang menimpanya. Biasanya cedera fisik bisa terlihat jelas, namun problem-problem psikologis seperti trauma bisa disimpan rapi oleh seseorang. Padahal senyatanya mempengaruhi hidupnya dalam tempo panjang, bahkan dapat memerluas dampak terorisme.
Tak hanya individu yang menderita trauma akibat aksi terorisme, namun orang-orang yang bersentuhan langsung dengannya juga terdampak. Singkat kata, trauma rentan meluaskan siklus kekerasan dan mewariskan konflik berkepanjangan.
Penelitian berjudul PTSD, Depression, and Anxiety After Terrorism: Findings from the Israeli-Palestinian Conflict menunjukkan bahwa trauma akibat dampak aksi terorisme dapat menyebabkan gangguan seperti depresi, kecemasan, PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Penelitian terbaru Levi-Belz dan kawan-kawan juga menemukan bahwa prevalensi PTSD meningkat menjadi 29%, sementara depresi dan kecemasan meningkat menjadi 42–44 persen setelah peristiwa kekerasan yang terjadi pada Oktober 2023.
Baca juga ”Golden Period” Perang Israel-Iran
Riset di atas menunjukkan bagaimana dampak aksi terorisme bukan hanya dirasakan korban langsung, tetapi juga meluas. Penulis menyimak kisah Andi Dina Noviana atau Andin, korban Bom Thamrin 2016. Keluarganya merasakan dampak kelelahan fisik dan psikis lantaran harus mendampingi Andin yang menderita insomnia selama berbulan-bulan usai terkena ledakan bom di kawasan Jalan MH. Thamrin Jakarta Pusat itu. Andin terus-menerus mengalami ketakutan jika berada dalam kesunyian. Ia baru bisa tertidur jika suasana rumah agak riuh.
Selain Andin, saya juga mendengar beberapa keluarga korban terorisme yang kebingungan melihat perubahan mental anggota keluarganya usai musibah teror bom yang menimpanya. Kasus yang sering muncul adalah temperamental.
Baca juga Memperhatikan Ruang Aktual Pendidikan
Menurut peneliti Boston University, Jessica Stern, trauma memengaruhi komunitas secara keseluruhan dan individu secara khusus. Menurutnya, trauma dengan rasa ketakutan yang besar dapat mendorong dehumanisasi terhadap pihak lain sehingga berpotensi melahirkan kekerasan baru (Stern & van der Kolk, 2023).
Potensi rantai kekerasan
Pola trauma pascakekerasan bukan hanya dialami korban terorisme, tetapi siapa pun yang melihat dan merasakannya. Bahkan tidak jarang pelaku aksi terorisme dulunya adalah orang-orang yang mendapatkan perlakuan kekerasan.
Pola ini sering terlihat dalam kisah mantan teroris. Kelompok ekstremis merekrut banyak orang yang mengalami trauma. Mereka adalah generasi yang merasakan dan terpapar aksi kekerasan yang tidak terselesaikan dengan baik. Iskandar Natsir, mantan pentolan Jamaah Ansharud Daulah (JAD), kelompok pendukung ISIS di Indonesia, misalnya.
Baca juga Pemuda Bela Negara dan Indonesia Emas 2045
Ada trauma masa kecilnya yang secara tidak langsung mendorongnya menjadi pendukung kelompok prokekerasan. Mendiang ayahnya, Muhammad Natsir, merupakan aktivis Islam yang dituding oleh penguasa waktu itu berperan aktif dalam serangkaian aksi massa yang berujung pada kerusuhan Tanjung Priok 1984. Usai peristiwa berdarah itu, Natsir melarikan diri ke Malaysia untuk menghindari kejaran pemerintah orde baru (orba) hingga akhir hayatnya.
Neria dan kawan-kawan dalam artikel berjudul Trauma and Resilience in Conflict Zones menjelaskan bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kekerasan atau yang mendengar kisah traumatis dari orang tua mereka cenderung menginternalisasi mentalitas “kami versus mereka”. Hal ini semakin menunjukkan potensi terjadinya trauma kolektif dan memperkuat identitas kelompok yang kaku sehingga kurang bisa bersikap harmonis dengan kelompok yang lain.
Memutus rantai luka psikologis
Sebelum memulai aktivitas kampanye perdamaian, AIDA berusaha membuat lingkungan yang aman di mana sosok-sosok istimewa dapat berbagi pengalaman mereka tanpa stigmatisasi. Lingkungan tersebut dapat membantu individu yang mengalami trauma kolektif merasa lebih terhubung dan memperkuat solidaritas mereka. Sosok-sosok istimewa yang saya maksud adalah korban dan mantan pelaku terorisme yang telah bertobat, karena kedua sosok ini memiliki kisah yang dapat membantu memutus rantai kekerasan.
Baca juga Hari Santri dan Pemimpin Baru Indonesia
Jika luka fisik perlu perawatan yang intensif, luka psikis juga membutuhkan effort yang tidak kalah serius untuk memulihkan sepenuhnya. Perlu ada dukungan psikososial jangka panjang, seperti tindakan rawat jalan untuk korban luka fisik.
Trauma psikologis akibat terorisme adalah tantangan besar, tetapi bukan tanpa solusi. Dengan memanfaatkan pendekatan yang berfokus pada empati, rekonsiliasi, dan penyembuhan traumatik, kita dapat membantu memutus siklus kekerasan dan menciptakan jalan baru menuju perdamaian.
Baca juga Kewarasan Guru