9 Tahun Bom Jakarta; Ikhtiar Penyintas Berdamai dengan Trauma (Bag. 3)
Sembilan tahun silam, tepatnya 14 Januari 2016, teroris menyerang jantung kota Jakarta, tak jauh dari Istana Negara dan kantor-kantor pemerintahan. Tak begitu jelas targetnya, namun ledakan bom pertama terjadi di salah satu kafe Jalan MH Thamrin, disusul pos polisi yang berada di seberangnya, dan kemudian tembakan-tembakan yang menyasar warga sipil.
Baca juga 9 Tahun Bom Jakarta; Ikhtiar Penyintas Berdamai dengan Trauma (Bag. 2)
Artikel berseri berikut merupakan secuil kisah ikhtiar para penyintas Bom Jakarta (lebih dikenal dengan Bom Thamrin) untuk berdamai dengan trauma psikis mereka. Khalayak luas mungkin telah lupa dengan peristiwa tersebut, saat bersamaan sebagian pelaku juga telah menghirup udara bebas. Tetapi cedera fisik dan trauma psikis penyintas tak gampang dihilangkan.
3. Anggun Kartikasari
Awal tahun 2016 Tika berangkat dari kampung halamannya di Kendal Jawa Tengah menuju Jakarta untuk mengurus segala persiapan kerja di Jepang. Dalam masa tunggu pelatihan kerja, adik sepupunya, Rico Hermawan, menawarkannya untuk mencari pekerjaan di Jakarta. Pada 14 Januari 2016 pagi, ia diantarkan Rico melakukan interviu di salah satu perusahaan yang dilamarnya.
Kala melintas di Jalan MH. Thamrin, sepeda motor yang dikendarai Rico diberhentikan polisi lantaran salah jalur. Tak pelak keduanya harus menuju pos polisi untuk mengurus proses tilang. Nahas, ledakan terjadi. Tika selamat meski harus menjalani serangkaian operasi penyembuhan, tapi tidak dengan Rico yang menemui ajalnya.
Baca juga 9 Tahun Bom Jakarta; Ikhtiar Penyintas Berdamai dengan Trauma (Bag. 1)
Oleh psikolog, Tika disarankan untuk menyibukkan diri dengan hal-hal yang disukainya. Pada akhirnya time heal every wound (waktu menyembuhkan setiap luka). Kini ia telah move on dari trauma psikis yang pernah menjangkitinya, kendati kakinya tak bisa pulih total. (bersambung)