3 weeks ago

Fitrah dan Keberagamaan yang Berdampak

Oleh Sahiron Syamsuddin

(Direktur Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Kementerian Agama RI)

Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Maret 2025

Setelah menjalani puasa di bulan suci Ramadhan, umat Islam selalu merayakan hari raya yang dikenal dengan ”Idul Fitri”.

Dalam bahasa Arab, kata ”al-fithr” merupakan kata polisemi, yakni memiliki beberapa makna.

Makna Idul Fitri

Makna tersebut, yakni, pertama, ia berarti ’berbuka dari puasa’. Dengan makna ini, kita pahami kata Idul Fitri sebagai hari raya di mana umat Islam tak boleh berpuasa. Mereka merayakan kemenangan dengan cara makan dan minum setelah berhasil menunaikan puasa selama satu bulan.

Kedua, kata tersebut berarti ”berada dalam keadaan suci atau penciptaan awal yang bersih dari dosa.” Keadaan semacam ini biasa disebut dengan istilah fitrah. Hari raya ini disebut dengan Idul Fitri karena dengan berpuasa di bulan suci Ramadhan, umat Islam mendapat ampunan dari Allah SWT.

Nabi Muhammad SAW bersabda: ”Barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mencari keridaan Allah, maka dosa-dosanya yang telah berlalu diampuni” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Ampunan (magfirah) ini didapatkan karena mereka telah menjalankan perintah Allah dengan tulus ikhlas dan menjauhi apa-apa yang dilarang oleh-Nya. Dengan kata lain, ”menjadi orang bertakwa”.

Baca juga Mudik dengan Damai

Agar ampunan dan ketakwaan ini terus terjaga dan meningkat, kita semua sebaiknya menyadari bahwa semua ritual keagamaan dalam Islam diharapkan berdampak positif bagi kehidupan manusia di dunia ini.

Baik dalam hal relasi kita dengan Allah SWT (hablun min Allah), dengan sesama (hablum minannas), maupun dengan alam/lingkungan hidup. Misal, dalam ritual shalat, Allah berfirman: ”… Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku” (QS Thaha: 14). Di ayat lain (QS Al-Ankabut: 45), Dia berfirman: ”Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar…).

Dari dua ayat ini, kita pahami ritual shalat bertujuan untuk terbentuknya karakter dan perilaku baik dalam diri pelaksananya, yakni mengingat Tuhan dan memiliki kebaikan sosial.

Ketika ritual shalat ini tak berdampak positif bagi kehidupan, Allah pun memberikan peringatan dalam QS Al-Ma’un: 5, ”bahwa orang-orang yang melaksanakan shalat, tetapi lupa terhadap nilai-nilai kebajikan yang terkandung dalam shalatnya, itu sangat merugi.”

Dampak positif ritual keagamaan semacam ini tentunya selaras dengan hadis Nabi Muhammad SAW: ”Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia” (HR Malik, Ahmad, dan lain-lain).

Enam nilai moral puasa

Demikian juga halnya dengan ritual puasa. Ia memiliki nilai-nilai moral yang dapat membentuk karakter baik manusia. Paling tidak, ada enam nilai moral, sebagai berikut.

Pertama, ketakwaan. Dengan puasa, kita dididik dan dibina untuk selalu berada dalam kondisi bertakwa, dalam arti seluruh perilaku kita selalu berada dalam keridaan Allah SWT dengan cara mengamalkan apa yang telah diperitahkan oleh-Nya dan menghindari diri dari perbuatan yang tak dibenarkan oleh agama. Hal ini tertuang dalam QS Al-Baqarah: 183.

Baca juga Puasa dan Kemenangan Bangsa

Kedua, kesabaran. Melalui ibadah puasa, kita dilatih untuk selalu berbuat sabar: bersabar untuk tetap berada pada jalan yang benar, bersabar untuk tidak melakukan kemaksiatan, dan bersabar dalam menghadapi penderitaan dan cobaan hidup.

Tanpa kesabaran, kita tidak mungkin mampu menahan diri dari makan dan minum ketika berpuasa dari Subuh hingga Maghrib. Kesabaran semacam ini sebaiknya juga kita miliki dalam kehidupan yang penuh dengan godaan, cobaan, dan problem yang berkaitan dengan aspek-aspek ekonomi, pendidikan, politik, kemanusiaan, dan lain-lainnya.

Semua ini harus dihadapi dengan penuh kesabaran dan kerja keras. Sifat sabar tak muncul dengan sendirinya, tetapi harus dilatih dan ditumbuhkan dalam kurun waktu lama secara bertahap sehingga kesabaran tertanam secara kokoh dalam jiwa kita.

Ketiga, kejujuran. Puasa juga mendidik kita untuk selalu berbuat jujur (shidq) dalam berperilaku. Dengan menahan diri dari seluruh yang membatalkan puasa, baik di ruang publik maupun dalam keadaan sendirian, kita sedang dididik bersikap jujur. Terlepas dari apakah orang lain melihat atau tidak, kita dituntut untuk melakukan sesuatu yang benar.

Kejujuran ini pada dasarnya adalah kejujuran terhadap diri sendiri. Begitu juga sebaliknya, ketidakjujuran pada hakikatnya adalah ketidakjujuran terhadap diri sendiri.

Sifat jujur ini jangan sampai hanya kita punyai ketika ketika berpuasa. Kita justru harus menerapkan kejujuran ini dalam segala bidang kehidupan kita. Dampak positif dari kejujuran dan konsekuensi negatif dari ketidakjujuran akan kembali kepada kita sendiri yang melakukannya.

Karena itu, Nabi Muhammad SAW bersabda: ”Bersungguh-sungguhlah dalam berbuat jujur! Jika kalian memandang bahwa dalam kejujuran ini terdapat kerusakan, maka sesungguhnya di dalamnya terdapat keselamatan. Jauhkanlah dirimu dari kebohongan! Jika kalian memandang bahwa di dalam kebohongan ini terdapat keselamatan, maka sebenarnya di dalamnya terdapat kerusakan.”

Tentang ini, al-Mawardi dalam bukunya Adab ad-Dunya wa-d-Din (hal 193), mengutip ungkapan al-Jahizh yang sangat indah: “Kejujuran dan menepati janji adalah ‘saudara kembar’. Kesabaran dan sifat bijak adalah juga ‘saudara kembar’.

Di dalam semua itu terdapat kesempurnaan semua aspek agama dan kebaikan semua aspek keduniaan. Lawan kata dari keduanya, yakni ketidakjujuran dan ketidaksabaran, adalah penyebab dari segala perpecahan dan asal dari segala kerusakan.”

Keempat, tanggung jawab. Sifat bertanggung jawab juga merupakan nilai moral yang bisa diambil dari ibadah puasa.

Tanpa rasa tanggung jawab pada diri sendiri, seseorang tidak akan melaksanakan ibadah puasa. Sebaliknya, dengan rasa tanggung jawab, seseorang akan terdorong untuk melaksanakan sesuatu meskipun sesuatu itu berat.

Karena itu, ibadah puasa yang telah dilakukan ini diharapkan dapat menjadi dasar dan bekal bagi kita untuk menjadi orang yang selalu berusaha melaksanakan tugas kehidupan dengan penuh rasa tanggung jawab.

Kelima, kedisiplinan. Puasa juga mendidik kita bersikap disiplin. Kita berpuasa dalam waktu yang telah ditentukan, dari Subuh sampai Maghrib. Kita tak boleh menawar agar mendapatkan keringanan waktu dalam berpuasa.

Hal ini berarti bahwa dengan berpuasa, kita dididik untuk bersikap disiplin dalam hal waktu. Kedisiplinan ini tentunya sangat bermanfaat bagi kita dalam menjalankan tugas dan mengarungi kehidupan.

Keenam, kepedulian sosial. Puasa mendidik kita agar memiliki rasa kepedulian sosial. Dengan berpuasa, kita merasakan betapa menderitanya seseorang ketika ia tidak mendapatkan sesuap nasi untuk dimakan atau secangkir air minum untuk menghilangkan dahaga.

Kepekaan dan perhatian terhadap masyarakat ini bahkan merupakan salah satu ajaran terpenting dalam Islam. Banyak ayat Al Quran dan hadis yang menerangkan hal ini, baik secara eksplisit maupun implisit.

Agar umat Islam menyadari pentingnya kepakaan sosial ini, Rasulullah dalam beberapa kesempatan menyampaikan stimulan-stimulan, sebagaimana yang terekam dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.

Yakni, sebagai berikut: ”Siapa pun melepaskan satu kesulitan seorang yang beriman di dunia, maka Allah akan melepaskan satu kesulitan orang itu di akhirat nanti. Siapa pun memberikan kemudahan kepada orang yang berada dalam kesusahan, maka Allah akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat. Dan barang siapa menutupi aib orang Islam, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hamba-Nya, selama ia mau menolong saudaranya.”

Ketika keenam nilai moral di atas diperhatikan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka dampak positif keberagamaan, khususnya ibadah puasa, dapat dirasakan dengan baik dan, dengan demikian, kualitas akhlak terhadap Sang Pencipta dan sesama manusia dapat meningkat dari waktu ke waktu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *