10/03/2025

Puasa dan Kemenangan Bangsa

Oleh: Hasibullah Satrawi

Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA); Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir

Puasa merupakan ibadah dalam bentuk sikap menahan diri sepanjang hari, dari waktu subuh di pagi hari hingga waktu maghrib di sore hari. Sikap menahan diri ini dimaksudkan tidak hanya dari perkara-perkara yang diharamkan, tetapi juga dari sebagian perkara yang dihalalkan bagi orang yang tidak berpuasa, seperti makan-minum dan hubungan orang dewasa bagi mereka yang sudah menikah.

Sebagai ibadah, puasa tidak hanya penuh dengan ketentuan yang bersifat ritual peribadatan, tetapi juga penuh dengan dimensi spiritual dan sosial kemasyarakatan.

Baca juga Puasa; Kedamaian Diri untuk Perdamaian Bumi

Sebagai contoh, dalam sebuah hadis ditegaskan bahwa orang yang berpuasa dilarang membalas celaan yang dialami dengan celaan yang sama. Justru orang berpuasa dianjurkan merespons celaan dengan menegaskan bahwa dirinya sedang berpuasa: inni shaimun (sungguh aku sedang berpuasa). Masih banyak tuntunan lain terkait puasa yang menunjukkan keselarasan antara dimensi ritual dan dimensi sosial, antara kesalehan individual dan kesalehan komunal.

Konteks kebangsaan

Ibadah puasa sejatinya penting dijalankan dengan semangat kontekstual, termasuk dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat ini Indonesia sedang berada pada masa adaptasi kolektif setelah pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) dan anggota legislatif yang kemudian disusul dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak.

Di satu sisi, hal ini menjadi pencapaian demokrasi yang mungkin belum banyak padanannya di negara lain, termasuk di tingkat global sekalipun. Namun, di sisi yang lain, kondisi ini menyiratkan kerawanan yang cukup tinggi. Terlebih lagi riak-riak konflik akibat perebutan kekuasaan pilpres dan pilkada belum sepenuhnya pulih.

Baca juga Puasa, Kedewasaan, dan Korupsi

Di sinilah pentingnya semua pihak menimba semangat menahan diri dari ibadah puasa, baik dari pihak yang kalah maupun dari pihak yang menang. Bagi pihak yang kalah, apa pun persoalan yang ada sekarang, jangan selalu dikaitkan dengan persoalan yang sempat terjadi pada masa-masa pemilu. Masa pemilu telah selesai, termasuk persoalan sengketa hukum terkait pemilu.

Sementara bagi pihak yang menang, segala kebijakan yang ada harus diambil berdasarkan semangat kepentingan bersama dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Para pemenang juga harus terus mengupayakan rekonsiliasi dan persatuan antarsegenap kekuatan politik yang ada.

Sesuai dengan semangat penghematan yang dicanangkan pemerintah, semua pihak sejatinya harus menahan diri dari kegiatan-kegiatan yang tidak terlalu penting agar dapat mengedepankan kepentingan-kepentingan prioritas. Menahan diri agar bangsa ini bisa mencapai ”hari kemenangan” yang dicanangkan, seperti swasembada pangan, swasembada energi, dan yang lainnya.

Baca juga Beragama Maslahat

Hal yang tak kalah penting adalah semua pihak sejatinya menahan watak rakus dan tamak. Inilah watak yang membuat seseorang tak pernah merasa cukup dengan seluruh harta benda dan kekayaan yang telah dimiliki.

Walaupun secara faktual seseorang telah menjadi kaya raya, watak rakus dan tamak akan membuat yang bersangkutan merasa seakan tetap miskin, bahkan mungkin merasa lebih miskin dari kaum masakin (orang-orang miskin) yang saban hari lalu lalang di dekat kantor, rumah, dan mobilnya hanya untuk mendapatkan sumbangan.

Meminjam kandungan syair klasik berbahasa Arab yang sangat terkenal di dunia pesantren, watak rakus dan tamak acap mengubah seorang merdeka menjadi laksana seorang budak.

Sebaliknya, orang yang selamat dari watak rakus dan tamak (dalam bahasa Arab disebut dengan istilah qana’ atau qana’ah yang berarti sikap menerima apa adanya), akan menjadi laksana manusia merdeka, walaupun ia seorang budak (alhurru kal ‘abdi in thama’, wal ‘abdu kal hurri in qana’).

Baca juga Keadilan untuk Semua

Inilah mungkin yang bisa menjelaskan kenapa di Indonesia ketimpangan begitu tinggi antara mereka yang kaya dan mereka yang miskin. Mereka yang kaya terus mengeksploitasi potensi-potensi kekayaan yang ada, walaupun mereka sadar kekayaan yang dimiliki sudah lebih untuk mencukupi kebutuhan anak cucu sampai beberapa generasi ke depan. Sebaliknya, orang-orang yang miskin semakin lemah dan terpinggirkan dari potensi-potensi ekonomi yang ada.

Sejatinya, negara bisa mengambil peran seperti yang dicontohkan oleh sahabat Abu Bakar setelah diangkat menjadi pemimpin umat Islam menggantikan Nabi Muhamad SAW.

Dalam pidato pertamanya sebagai pemimpin umat Islam yang sangat terkenal, Abu Bakar menegaskan, ”Orang lemah di antara kalian adalah kuat di mataku sampai aku penuhi hak-hak mereka. Sementara orang kuat di antara kalian adalah lemah di mataku sampai ia membayar kewajibannya kepadaku,” (Jamal Al-Banna, Al-Islam Dinun wa Ummah, 2003: hlm 53).

Baca juga Ramadhan, Konstitusionalisasi Agama, dan Bernegara Otentik

Inilah peran manajerial dari negara atau pemerintah yang sejatinya bisa mendistribusikan potensi kekayaan yang ada. Hingga bisa terjadi pemerataan kekayaan dan kemakmuran. Yang terjadi di Indonesia sejauh ini masih jauh dari harapan.

Di satu sisi, orang-orang kaya dan kuat berusaha menjadi bagian dari pemerintahan untuk mendapatkan akses ekonomi sekaligus mengamankan kekayaan yang dimiliki. Sementara di sisi lain, sebagian orang yang awalnya miskin dan lemah menunggu kesempatan untuk mencapai akses ekonomi, bukan untuk melakukan pemerataan ekonomi sebagaimana seharusnya, melainkan untuk menjadi orang-orang kaya baru dengan watak tamak dan rakus yang kurang lebih sama.

Di sinilah pentingnya semua pihak menggunakan semangat puasa untuk menahan watak tamak dan rakusnya. Karena pada akhirnya yang benar-benar akan dimakan oleh seseorang hanya sepiring atau dua piring makanan. Pun demikian dengan rumah dan kendaraan.

Baca juga Mengabaikan Surga

Lebih dari semua itu hanyalah bisikan nafsu dan watak tamak, persis seperti halnya orang berpuasa yang dalam lapar dan haus dahaga di siang bolong bernafsu akan menghabisi semua makanan dan minuman yang ada pada ada saat berbuka puasa di sore hari. Akan tetapi, ketika sudah benar-benar tiba waktu berbuka puasa, yang dimakan hanyalah beberapa piring dan beberapa gelas minuman.

Kemenangan bangsa

Puncak ibadah puasa adalah hari raya Idul Fitri, hari kemenangan. Menang dalam arti berhasil melakukan pengendalian diri dalam semua bentuknya. Tak kalah penting pula, menang dalam bentuk berbagi kebahagiaan dan kesejahteraan dengan keluarga, saudara, teman, kolega, dan antar-sesama.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, hari kemenangan bisa dimaknai dalam bentuk keserasian antara semangat ketuhanan dan semangat kemanusiaan. Inilah hakikat kemenangan. Dengan kemenangan ini, maka nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan menyatu dalam sikap dan budi pekerti manusia Indonesia, seperti padunya Syahadat Allah dan Syahadat Rasul dalam dua kalimat syahadat umat Islam.

Baca juga Berlarilah Menuju Allah

Sebaliknya, perpaduan dua ”syahadat kebangsaan” ini adalah awal sekaligus modal untuk menghadapi pelbagai macam tantangan yang muncul sebagai konsekuensi keberagaman yang ada, sebelum mencapai tujuan kebangsaan yang diharapkan.

Perpaduan nilai ketuhanan dan kemanusiaan ini bukan ”azimat” yang oleh sebagian diyakini akan mendatangkan ”kekuatan” dan kesuksesan, sebagaimana juga bukan akhir dari sebuah perjalanan.

Di sinilah pentingnya tetap menjaga persatuan dengan memperhatikan semangat kerakyatan, musyawarah, dan kebijaksanaan. Kerakyatan adalah identitas dasar kolektif bagi seluruh manusia Indonesia. Musyawarah adalah forum kebersamaan dalam memecahkan sebuah persoalan.

Adapun kebijaksanaan adalah cara pandang kearifan yang melampaui kebenaran-kebenaran prosedural, bahkan hukum sekalipun. Inilah energi persatuan dan kesatuan dalam realitas kemajemukan kompleks untuk menghadapi masalah serumit apa pun.

Baca juga Islam dan Kerangka Etik Perubahan Sosial

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat adalah puncak kehidupan berbangsa yang diharapkan. Keadilan sosial tidak bisa terwujud tanpa melalui pemerataan kesejahteraan dan kemakmuran. Maka, hari Lebaran yang tak lain adalah hari berbagi kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemakmuran bisa dijadikan sebagai salah satu model perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Setiap kali bangsa ini merayakan hari Lebaran (juga perayaan-perayaan keagamaan lainnya) maka sesering itu pula bangsa ini ”mempresentasikan” model keadilan sosial yang bisa diadopsi secara permanen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hingga keadilan sosial mewujud nyata dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Itulah cita-cita tertinggi bangsa, itulah semangat puasa yang memuncak pada hari Lebaran nanti. Selamat beribadah puasa bagi yang menjalankannya.

** Artikel ini telah tayang di Kompas.id edisi Selasa, 05 Maret 2025.

Baca juga Umat Merindukan Akhlak Rasulullah SAW

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *