1 week ago

Mengatasi Migrasi Penduduk ke Jakarta

Oleh Imam B Prasodjo

(Sosiolog)

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 10 April 2025

Membanjirnya penduduk dari desa atau kota lain ke Jakarta menjadi persoalan yang selalu mengemuka, setiap kali sehabis Lebaran. Ketimpangan ekonomi desa dan kota telah menyebabkan tingkat urbanisasi yang tinggi.

Warga desa banyak berpindah dari desa ke kota, terutama ke kota besar, untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Walaupun kota-kota penyangga Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek), kini juga menjadi tujuan populer pendatang, tetap saja Jakarta sebagai kota terbesar masih menjadi magnet utama.

Ketersediaan kesempatan kerja yang luas dan berbagai fasilitas sosial-ekonomi menjadi faktor penarik kedatangan migran ke Jakarta.

Selama 62 tahun dari 1961 hingga 2023, jumlah penduduk Jakarta mengalami peningkatan 3,7 kali lipat. Angka ini akan lebih besar lagi jika kita memasukkan migran yang tinggal sementara (seasonal residents) dan migran ngelaju (circulair migrants) yang datang dan pergi setiap hari dari sekitar Kota Jakarta, seperti Bodetabek. Akibat peningkatan jumlah penduduk, tingkat kepadatan juga meningkat.

Baca juga Fitrah dan Keberagamaan yang Berdampak

Pada 2023, kepadatan rata-rata Jakarta mencapai 16.175 jiwa per kilometer persegi, tertinggi di seluruh provinsi di Indonesia. Dengan keterbatasan lahan Jakarta, besarnya jumlah pendatang setiap tahun menimbulkan masalah besar. Di berbagai tempat, tumbuh tempat kumuh (slump areas).

Karena umumnya berasal dari masyarakat ekonomi lemah, banyak dari pendatang ini yang kesulitan mendapatkan akses lahan guna menopang kehidupan mereka. Akibatnya, tak sedikit dari mereka mengokupasi lahan secara ilegal untuk rumah tinggal dan kegiatan ekonomi.

Mereka yang menjadi pedagang kaki lima menggunakan fasilitas umum, seperti trotoar dan lahan kosong lain, seperti bantaran sungai dan pinggiran rel kereta api, yang bukan peruntukannya. Karena desakan ekonomi, tak jarang mereka terlibat dalam persaingan tak sehat dan terjerumus dalam perilaku negatif.

Kondisi sosial kependudukan ini menjadi salah satu alasan pemerintah Jakarta perlu mencanangkan kebijakan untuk mengurangi arus pendatang dari daerah lain.

Beragam kebijakan sudah dilakukan, seperti imbauan agar para pemudik tak membawa anggota keluarganya ke Jakarta, penerapan peraturan wajib lapor bagi pendatang di kelurahan setempat, berbagai persyaratan yang harus dipenuhi jika ingin menjadi penduduk Jakarta, dan Operasi Yustisi Kependudukan.

Namun, semua itu terbukti tak efektif mencegah tingginya arus migrasi masuk Jakarta. Akibatnya, Jakarta menanggung beban berat tak berkesudahan. Beban APBD terus meningkat untuk memfasilitasi penyediaan perumahan, transportasi, kesehatan, pendidikan dan berbagai infrastruktur, seperti listrik, air bersih, dan sanitasi bagi para pendatang.

Sister city” dan tanggung jawab pusat

Upaya pencegahan yang lebih substansial dan menyentuh ke akar persoalan sebenarnya pernah dicetuskan Joko Widodo semasa menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Yakni, dengan mendorong peredaran uang dan investasi ke daerah-daerah di sekitar Jakarta yang menjadi pengirim migran. Bila investasi ke daerah-daerah ini dapat dilakukan, lapangan pekerjaan akan tumbuh di sana dan pada gilirannya akan mengurangi laju migrasi warga luar Jakarta.

Sayang, gagasan baik ini belum sempat dilaksanakan secara serius. Dengan kekuatan anggaran yang dimiliki, Pemerintah Provinsi Jakarta harusnya bisa lebih serius memerankan ”sister city”, atau mitra kota-kota dan daerah-daerah lain, khususnya yang teridentifikasi sebagai daerah pengirim utama migran ke Jakarta.

Baca juga Setelah Puasa, Lalu?

Jakarta harus lebih serius menjalankan peranannya sebagai pendorong tumbuhnya pembangunan sosial ekonomi daerah pengirim migran. Layaknya peran seorang ”ibu”, Jakarta sudah seharusnya ikut membesarkan wilayah-wilayah lain dengan ikut mendorong terbangunnya sentra-sentra pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas di daerah lain sehingga kesempatan kerja tercipta di banyak tempat.

Bila peran ini bisa dijalankan secara efektif, arus migrasi penduduk ke Jakarta secara mendasar akan terkurangi. Akar masalah secara bertahap bisa diatasi. Jakarta akan dilihat sebagai kota sahabat bagi kota-kota lain. Pemerintahannya dilihat tak egois karena pemimpinnya memiliki visi luas keindonesiaan, tak berpandangan provinsial sempit.

Tentu tugas ini tak mungkin dilakukan tanpa sinergi dengan pemerintah pusat yang memiliki kekuatan finansial lebih besar. Beberapa kementerian dan lembaga harus lebih besar berperan. Namun, Jakarta dapat mengambil inisiatif lebih cepat karena dalam mengeluarkan anggaran dan penyediaan tenaga ahli dan praktisi pemberdayaan tak terkendala oleh birokrasi ruwet yang biasanya menghinggapi pemerintah pusat.

Baca juga Fitrah dan Keberagamaan yang Berdampak

Agar gayung bersambut, pemerintah daerah yang menjadi mitra Jakarta juga harus lebih sigap dalam melangkah dan merespons. Semoga di era sulit ini muncul kreativitas dalam menggalang kerja sama untuk ”memajukan kesejahteraan umum”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *