Ibroh dari Peristiwa Rekonstruksi Ka’bah
Aliansi Indonesia Damai – Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Muhammad Abdul Fattah Santoso mengajak umat Muslim untuk belajar mengambil hikmah/pembelajaran (ibroh) dari peristiwa membangun ulang (rekonstruksi) Ka’bah pada tahun 605 Masehi. Saat itu, kata Fattah, Nabi Muhammad Saw masih berusia 35 tahun namun mampu menyelesaikan rekonstruksi Ka’bah.
Fattah mengatakan, saat itu Ka’bah perlu dibangun kembali akibat banjir besar yang merusaknya dan karena insiden perampokan harta karun Ka’bah karena ketiadaan atap dan ketinggian tembok yang hanya sedikit di atas ketinggian manusia normal.
“Pada tahun itu, Ka’bah banjir dan harta karun yang disimpan hilang dan hancur, dulu Ka’bah tak setinggi sekarang. Suku ‘Quraisy’ bersama suku-suku lain menetapkan untuk merekonstruksi ‘Ka’bah’ dan proyek kerja dibagi sama di antara suku,” ujar Fattah dalam acara Halaqah Alim Ulama bertajuk “Menguatkan Ukhuwah Melalui Pendekatan ‘Ibroh” di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (24/09/2025).
Baca juga Isra’ Mi’raj dan Spirit Kedamaian
Halaqah yang diselenggarakan AIDA bekerja sama dengan Program Doktor Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Program Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, ini diikuti 119 kiyai, ustaz, dan ustazah dari 46 lembaga yaitu pondok pesantren, majelis taklim, dewan kemakmuran masjid, ormas keagamaan, dan akademisi di wilayah Solo Raya.
Fattah menjelaskan setelah rekonstruksi yang pokok selesai, muncul perselisihan siapa yang menempatkan Hajar Aswad di tempatnya. Setiap suku mengklaim hak khususnya untuk tugas terhormat tersebut dan tidak ada satu suku pun siap mengorbankan hak istimewa dalam peristiwa yang prestisius ini.
“Ada gejala yang akan berujung pada konflik. Misalnya Banu Abdud Dar diikuti oleh Banu Adi membawa sebuah mangkok darah, sementara itu ‘Banu Ka’ab dan Banu Lu’ay mengambil sumpah untuk berjuang sampai mati demi kehormatan ini, dan menusuk lengan mereka hingga berdarah,” paparnya.
Baca juga Fathu Makkah dan Spirit Perdamaian
Dalam kondisi yang sangat genting ini, kata Fattah, pekerjaan rekonstruksi diundur sampai empat atau lima hari. Abu Umayah ibn Mugirah mengusulkan sebuah solusi seraya berkata, “Ketika kita semua berdiri di sini, jadikan orang pertama yang melewati pintu Al-Suffah sebagai arbiter (penengah) dalam perselisihan ini.”
“Usulan tersebut diterima dan orang pertama yang masuk melalui pintu adalah Nabi Muhammad Saw. Melihat dia sebagai arbiter/wasit, spontan semua orang memberikan persetujuan,” ujar dia.
Fattah menyatakan setelah sepenuhnya memahami situasi, Nabi Muhammad Saw membentangkan kain dan menempatkan Hajar Aswad di tengah kain. Pemimpin setiap suku lalu memegang pinggiran kain dan membawanya ke Ka’bah.
“Nabi Muhammad Saw meletakkan sendiri Hajar Aswad di lokasinya. Setiap orang bahagia, dan upaya rekonstruksi dilanjutkan dan diselesaikan,” pungkasnya.
Baca juga Merdeka dari Aksi Kekerasan
Menurut Fattah ada sembilan nilai perdamaian yang bisa diambil dari peristiwa rekonstruksi Ka’bah tersebut yaitu husnuzhzhan (berfikir positif), shabr (kesabaran), ishlah (rekonsiliasi), tafāhum (pemahaman bersama), takrīm (menghargai), ‘afw (pemberian maaf setiap suku terhadap lainnya), ihsān (ko&pro eksistensi), istibāqul khairāt (kompetisi yang fair) dan tasāmuh (toleransi).[AS]