Isra’ Mi’raj dan Spirit Kedamaian
Tanggal 27 Rajab Hijriah adalah “hari ulang tahun” ibadah shalat, rukun Islam kedua setelah ikrar dua kalimat syahadat. Tak ayal hampir di mana pun berada, umat Islam merayakannya.
Shalat, dalam bentuk ritual yang dijalankan umat Muhammad Saw, disyariatkan pada tanggal itu, saat peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Saw. Secara etimologis, isra’ berarti melakukan perjalanan dari satu daerah ke daerah lainnya, sedangkan mi’raj adalah alat/sarana untuk naik ke atas.
Baca juga Mencintai Diri Kunci Kebangkitan
Pada malam itu, Nabi melakukan perjalanan rohani dan jasmani yang kemudian menguji keimanan sebagian sahabat pemeluk Islam awal. Pasalnya perjalanan itu sungguh di luar nalar kelaziman. Nabi melakukan perjalanan dari Masjid Al-Haram (Makkah) ke Masjid Al-Aqsha (Palestina) yang terbentang geografis sangat jauh, kemudian naik ke langit (sidratul muntaha) dan kembali berpijak di bumi hanya dalam tempo relatif singkat.
Iman memang tak cukup dengan logika tetapi mesti melibatkan dzauq (rasa). Karena iman adalah perpaduan akal dan spiritualitas. Peristiwa itu merupakan mukjizat Nabi Muhammad Saw, karenanya wajar tidak bisa dijangkau nalar manusia. Sebagai muslim tentu kita wajib meyakini kebenarannya, terlebih peristiwa itu direkam dan diabadikan Al-Qurán, Surat Al-Isra`ayat pertama.
Baca juga Memilih Guru Damai
Peristiwa itu terjadi pada ‘amul huzni (tahun kesedihan), di mana Nabi belum lama kehilangan dua sosok penting dalam hidup dan perjuangan dakwahnya: istri tercinta Sayyidah Khadijah al-Kubra dan pamannya, Abu Thalib. Sejumlah ulama mengatakan bahwa peristiwa itu sebagai pelipur lara sekaligus meneguhkan hati Nabi bahwa Allah adalah Pelindung sejati.
Menurut Muhammad Ratib al-Nabulsi, ulama Suriah, peristiwa Isra’ Mi’raj adalah satu tahap dari kemuliaan Nabi sekaligus bentuk ujian baginya dalam melewati tantangan dakwah yang terjal. Bagaimana pun Nabi adalah manusia biasa yang bisa merasakan sedih, sakit, dan terluka.
Baca juga Menjaga Lingkaran Terdekat
Pengalaman pahit yang dialami Nabi juga tidak bisa disamakan dengan apa yang dihadapi oleh manusia biasa seperti kita. Hikmah Isra’ Mi’raj adalah pengangkatan kemuliaan yang diberikan Allah kepada Nabi di tengah ujian dan cobaan hidup yang berat. Nabi sukses melewati fase ujian dengan lapang dada dan penuh ikhlas.
Kisah ketabahan dan keikhlasan yang dialami oleh Nabi memberikan pelajaran bagi umat manusia untuk senantiasa tidak berkeluh kesah, melainkan bersabar dalam menjalani kehidupan yang penuh legit pahit, suka duka. Hikmah ketegaran Nabi direkam oleh Imam Malik dalam al-Muwattha’. Nabi bersabda, setiap kesulitan akan membuahkan dua hal kemudahan yang akan didapatkan (lan yaghliba ‘usrun yusraini).
Baca juga Pertobatan untuk Perdamaian
Berupaya meneladani Nabi, sejumlah penyintas bom bersikap tegar dan sabar atas musibah yang menimpanya. Sebagian dari mereka harus kehilangan anak, suami, istri, saudara kandung, atau kerabat dekat. Sebagian lain harus kehilangan anggota tubuh yang selama ini bisa dibanggakan. Dampak yang dirasakan terkadang bersifat permanen. Namun meski demikian mereka tidak menaruh dendam kepada para pelaku pengeboman yang berniat merusak kehidupan.
Dari kisah Rasul dan orang-orang yang meneladaninya, ada pembelajaran yang bisa kita petik bersama. Tetaplah bersabar dan tegar saat menghadapi musibah. Yakinlah bahwa bersama kesulitan selalu ada kemudahan.