Home Opini Ledakan di SMAN 72 Tanda Darurat Remaja Kita
Opini - Pilihan Redaksi - 4 days ago

Ledakan di SMAN 72 Tanda Darurat Remaja Kita

Oleh Romeyn Perdana PutraPeneliti BRIN

Artikel ini dimuat di Kompas.id, 09 November 2025

Ledakan, atau apa pun labelnya kelak, di SMAN 72 Jakarta adalah alarm tanda bahaya darurat remaja dan angkatan muda Indonesia. Kita dihadapkan pada kondisi remaja dengan angka statistik red alert. Temuan Global School-Based Student Health Survey atau GSHS terkait kesehatan siswa memaparkan hal yang mengkhawatirkan.

Seharusnya hasil angka yang didapat adalah nol, tetapi survei dari WHO itu di Indonesia menunjukkan loneliness (kesepian) 19,1 persen, anxiety (kecemasan) 16,4 persen, suicide consideration (kecendrungan ingin mengakhiri hidup) 8,5 persen—termasuk di dalamnya 10 persen angka kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri, secara fisik tidak aktif 76,2 persen, perilaku ’rebahan’ atau sedentary behaviour 46,8 persen dan tobacco used (merokok/vaping) 17,8 persen.

Kembali ke kasus di SMAN 72, sejauh ini belum bisa dipastikan penyebab aksi apakah murni lone wolf atau terdeteksi diinfiltrasi oleh kekuatan organisasi tertentu.

Baca juga Saatnya Hijrah: dari Konflik Menuju Dunia yang Damai

Prayitno Ramelan (purnawirawan intelijen) dalam blog pribadinya di Kompasiana menyebutkan ”ketenangan yang menipu”. Selama dua tahun terakhir Indonesia jauh dari serangan teror besar, tetapi di balik itu, rekrutmen teroris kini bergeser dari personal meeting menjadi daring, imbuh Prayitno.

Bila disandingkan data WHO (perilaku sedentary, loneliness, anxiety, suicide consideration) dengan analisis intelijen tersebut, metode rekrutmen daring sudah harus diwaspadai. Prayitno menyebutkan, pihak berwenang Indonesia telah memblokir lebih dari 180.000 unggahan daring terkait intoleransi, ekstremisme, dan terorisme yang berasal dari kelompok radikal.

Perundungan

Perilaku perundungan sepertinya akan dibingkai menjadi narasi kronologis sederhana kenapa tindakan sang siswa menjadi radikal. Perundungan sulit dibasmi di institusi lembaga pendidikan mana pun. Hanya saja, perundungan paling mudah untuk dapat diceritakan sebagai alasan kenapa seseorang menjadi ekstremis muda. Padahal, banyak faktor lain yang menyebabkan perilaku radikalisme di kalangan remaja.

Pergeseran pola rekrutmen remaja sebagai pelaku teror mungkin saja disebabkan dari perilaku daring mereka yang diimplementasikan ke dunia nyata. Temuan senjata ”mainan” bertuliskan nama-nama teroris itu mengindikasikan si pemilik yang takjub dengan neraka dan kagum pada para ekstremis.

Baca juga Merdeka dari Aksi Kekerasan

Perundungan kini makin canggih pula di dunia daring. Tahun ini, penulis berkesempatan untuk meneliti tentang kesehatan remaja. Dengan output situs ”remaja sehat”, dan hasilnya cukup mengkhawatirkan. Pertama, screen time atau waktu layar mereka berkisar 5-8 jam per hari (beberapa penelitan nasional menyebutkan 3-5 jam). Kedua, aplikasi yang disasar dengan waktu terlama adalah gim daring. Ketiga, referensi mereka dalam mencari jawaban adalah video-video pendek di berbagai platform medsos video dan tidak tertarik untuk membaca atau mencari tahu lebih lanjut. Keempat, perundungan dialami setiap informan melalui platform gim daring.

Ketika diajak mengobrol, mereka ada yang ingin berkonsultasi lebih dalam dengan peneliti, tapi mereka segan untuk berbicara bebas dengan orang baru. Namun, dari profiling informan, peneliti berkesimpulan, semua informan tertarik untuk bekerja dan segera menghasilkan uang di masa jadi pelajar.

Dahulu kala, jargonnya anak bersekolah saja dengan baik, tidak perlu susah untuk memikirkan biaya-biaya sekolah. Pergeseran pola konsumsi sekarang menyebutkan juga bahwa siswa lebih tertarik untuk membeli paket data dibandingkan makanan minuman. Selain itu, mereka juga berharap dapat menghasilkan uang tambahan baik dari daring maupun luring. Oleh sebab itu, pola ”liburan sambil kerja” mungkin bisa jadi pilihan program magang nasional. Alih-alih memagangkan wisudawan kampus yang jelas-jelas mereka sudah di-”job training” oleh kurikulum sekolah.

Politik ekonomi

Data BPS terbaru menyatakan bahwa hasil pendidikan formal sarjana terserap dalam dunia usaha dan dunia industri (DUDI) hanya 19,33 persen. Bandingkan dengan peningkatan 10,23 persen lapangan kerja baru sektor formal. Tingkat pengangguran terbuka (4.855) dan rata-rata upah Rp 3,33 juta.

Ada kekhawatiran dari Profesor Riset BRIN Sik Sumaedi terhadap data rilis BPS tersebut. Dari sisi ekonomi, ada kekhawatiran hal tersebut berdampak pada perilaku remaja sekarang. Bisa jadi ini adalah luaran dari angka-angka yang terbaca rendah, tetapi apabila ditoleransi akan meledak menjadi perilaku radikal remaja.

BNPT sudah memiliki pemetaan profil calon ”pengantin” ini sejak lama. Dalam forum-forum komunikasi antardaerah, BNPT menyebutkan, profil remaja yang sering menyendiri, sulit mengaktualisasikan diri, dan tersisih dari harapan-harapannya kerap terjerumus pada perilaku radikalisme dan ekstremisme. Pola komunikasi yang dilakukan BNPT sudah mencapai 34 wilayah di Indonesia dengan sosialisasi dan edukasi ke sejumlah kalangan pemangku kepentingan. Namun, kesepian dan perilaku sedentary menjadi avtur ledakan teror itu mewujud.

Perilaku sedentary yang cukup tinggi ini ditambah dengan waktu layar yang melebihi waktu tidur sudah menjadi indikator bahwa remaja kita mengalami krisis digital. Apa yang bisa dilakukan? Tentunya mengembalikan remaja untuk beraktivitas fisik dan tak selalu tergantung dengan gawainya.

Politik ekonomi ini tentu didasari oleh dugaan penyebab yang disampaikan oleh Sik Sumaedi atas data BPS; program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Magang Nasional hanya menyerap orang yang berpindah kerja atau tidak menjamin pekerja penuh waktu; investasi yang masuk tidak berkualitas; kecerdasan imitasi/otomasi telah berdampak; dan kurikulum pendidikan tidak efektif menciptakan mentalitas peserta didiknya.

Atau, bisa terkait pula dengan karakteristik gen Z terkait kesehatan mental, slow living, work life balance yang mengubah tatanan peradaban.

Semoga remaja kita dilindungi Yang Maha Kuasa agar terlepas dari belenggu putus harapan dan terjauh dari perilaku ambil jalan pintas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *