Mendorong Santri Melestarikan Perdamaian
Aliansi Indonesia Damai- Seratus lebih santri putra dan putri Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Husna Samarinda tampak rapi duduk bersaf di aula masjid pagi itu. Mereka berkumpul dalam rangka mengikuti pengajian bertema “Menyerap ‘Ibroh Kehidupan Korban dan Mantan Pelaku Terorisme” yang diselenggarakan oleh pimpinan pesantren bekerja sama dengan AIDA.
Pengasuh Ponpes Al-Husna, KH. M. Anshari MS, menyampaikan tausiah dalam kegiatan tersebut. Ia menekankan agar kaum santri senantiasa terdepan dalam melestarikan kehidupan damai di masyarakat.
“Kedamaian merupakan dambaan dan cita-cita bagi setiap manusia. Betapa dahsyatnya peristiwa-peristiwa terorisme di masa lalu. Ada Bom Bali tahun 2002, Bom Marriott tahun 2003, ada lagi Bom Kuningan 2004. Bangunan runtuh, manusia meninggal dunia, yang selamat menjadi cacat seumur hidup,” ujarnya, Ahad (18/6/2023) lalu.
Baca juga Menumbuhkembangkan Budaya Damai
Anshari sungguh menyayangkan yang melakukan teror pemboman di berbagai tempat adalah orang muslim yang mengaku tergerak atas anjuran jihad dalam Islam. Menurut dia, pemikiran segelintir muslim yang menganggap aksi bom bunuh diri sebagai jihad adalah kebatilan yang tidak bisa didiamkan. Apabila tidak diluruskan, dikhawatirkan banyak kalangan umat Islam yang bisa terpengaruh pemahaman kekerasan.
Anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Timur tersebut merefleksikan pengalamannya bertemu langsung dengan korban bom dan mantan pelaku terorisme yang telah berekonsiliasi dalam kegiatan AIDA sebelumnya, yaitu Pelatihan Pembangunan Perdamaian di Kalangan Tokoh Agama di Samarinda yang diselenggarakan pada akhir Mei 2023.
Dalam hematnya, faktor kekecewaan politik dan kecenderungan berlebih-lebihan dalam urusan agama menyebabkan sebagian muslim membentuk kelompok ekstremis yang mengeksklusi diri sebagai yang paling superior ketimbang pihak lain.
Baca juga Ketua PP Muhammadiyah: Agama Tak Boleh Abaikan Kemanusiaan
“Dalam pemikiran mereka, orang yang salatnya rajin, puasanya rajin, tapi tidak sejalan dengan perjuangan mereka, dianggapnya kafir. Negara ini dianggapnya kafir, pemerintahnya juga dianggap kafir, mereka halalkan darahnya untuk ditumpahkan,” kata dia.
Saat kegiatan berlangsung para santri peserta Pengajian menyimak penuturan kisah korban aksi teror bom serta mantan anggota kelompok teroris yang telah bertobat. Kisah korban dan mantan pelaku melampaui kepedihan masa lalu masing-masing menyiratkan ‘ibroh (pembelajaran berharga) tentang nilai ketangguhan.
Para korban tangguh dalam menjalani ragam penderitaan akibat bom serta pelbagai tantangan untuk bangkit dari keterpurukan. Sementara itu, ketangguhan dari sisi mantan pelaku tampak pada perubahan pemikiran dan sikap mereka yang tak lagi merusak perdamaian, bahkan kini justru membangun perdamaian.
Baca juga Melengkapi Trilogi Ukhuwwah
Seorang santri melontarkan pertanyaan saat dibuka sesi diskusi. Ia mempertanyakan apa hukumnya menghancurkan tempat umum seperti mal atau pusat perbelanjaan dengan dalih menghilangkan kemaksiatan. Menanggapi pertanyaan tersebut, Anshari lugas menjawab, “Hal seperti itu tidak dibenarkan agama.”
Dalam penjabarannya, Anshari menerangkan bahwa menghentikan kemaksiatan harus sesuai dengan yang diteladankan oleh Rasulullah Saw. Ada tahapan dan metodenya. Terlebih kebijakan menutup atau menghentikan aktivitas yang dinilai mengganggu itu kewenangannya ada pada negara, bukan orang perorang.
Baca juga Filosofi Ayam untuk Kesatuan Bangsa
Anshari mengingatkan bahwa suatu saat para santri akan belajar ilmu ushul fiqh. Dalam ilmu tersebut dikenal kaidah dar’ul mafasidi muqaddamun ‘ala jalbil masalih. Artinya, mencegah terjadinya kerusakan itu jauh lebih diutamakan daripada kepentingan mengambil atau menciptakan kebaikan. Apabila ditemukan kemaksiatan di satu tempat umum, lanjutnya, maka yang ditindak adalah kemaksiatannya, bukan kemudian menghancurkan fasilitas umumnya.
Pungkasan, ia mewanti-wanti para santrinya agar tidak sembarangan menerima informasi yang belum jelas kevalidannya dari siapa pun. “Maka dari itu anak-anakku santriwan santriwati, hati-hati mencari guru dalam menuntut ilmu. Harus dilihat dulu gurunya mengaji di mana, ahlussunnah waljamaah atau bukan, imam yang diikuti siapa, dan sebagainya,” katanya.[MLM]
Baca juga Memahami Sejarah Membangun Kedamaian