Bersatu Membawa Misi Perdamaian

Dengan suara lirih dan penuh penghayatan Kurnia Widodo menyampaikan permohonan maaf kepada para penyintas bom terorisme atas perilaku masa lalunya bergabung dengan kelompok teror. Sesaat setelahnya dia merangkul I Gusti Ngurah Anom, penyintas Bom Bali, 12 Oktober 2002.
Momen itu terjadi dalam kegiatan Pelatihan Tim Perdamaian yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Bandar Lampung, pertengahan Maret lalu. Selain Kurnia dan Anom, kegiatan di kota penghasil kain tapis ini juga diikuti I Wayan Sudiana (penyintas Bom Bali 2002), Agus Suaersih (penyintas Bom JW Marriott 2003), Nanda Olivia Daniel, dan Sarbini (penyintas Bom Kuningan 2004). Ketika Kurnia dan Anom berpelukan para hadirin yang berada di ruangan tampak terharu menyaksikan proses rekonsiliasi antara mantan pelaku dan korban terorisme tersebut.
Kurnia mengaku terharu akan kebesaran jiwa penyintas yang mampu memaafkan dirinya yang pernah dipidana karena terlibat kelompok teroris jaringan Bandung. “Korban bom sangat luar biasa bisa memaafkan saya,” ucapnya. Ia membeberkan ketika masih bergelut dalam dunia kekerasan dirinya tak peduli dan tak memikirkan dampak aksi teror. Dia didoktrin bahwa orang-orang di luar kelompoknya adalah kafir, biar pun beragama Islam, keislaman mereka diragukan dan wajib diperangi. Akan tetapi, Kurnia berubah setelah bertemu dengan penyintas aksi teror. Dia mengaku sedih hingga tak jarang menitikkan air mata bila mendengarkan kisah penyintas berjuang mengobati luka akibat ledakan bom.
Bagi dia pertemuan dengan penyintas terorisme di Bandar Lampung merupakan yang ketiga kalinya. Sebelumnya, dia pernah berinteraksi dengan penyintas dalam kegiatan AIDA di Tasikmalaya dan Bandung, Jawa Barat. Dia mengaku pertemuannya dengan penyintas aksi teror telah mengubah pola pikirnya secara bertahap untuk meninggalkan ideologi ekstrem. “Interaksi dengan mereka juga memunculkan empati saya, ternyata kekerasan dan dendam tidak menyelesaikan masalah. Saya ingin bersatu dengan para penyintas membawa misi perdamaian,” ucapnya.
Dalam kegiatan pelatihan yang berlangsung selama dua hari itu, Anom berbagi kisah hidupnya sebagai penyintas serangan teror Bom Bali 2002. Waktu itu sepulang kerja menjadi penjaga keamanan di Restoran Kuta Plaza dia singgah sejenak untuk membeli air minum dari penjual di tepi Jalan Raya Legian. Tiba-tiba, terjadi ledakan tak jauh dari tempatnya berada. Seketika dia tiarap. Sesaat kemudian dia bangkit bergegas menghampiri motornya untuk menjauh dari lokasi. Tanpa diduga, terjadi ledakan lagi dengan kekuatan yang lebih besar hingga membuat mata kirinya mengalami gangguan penglihatan permanen dan gendang telinga kirinya rusak. Sepeda motornya juga hancur.
Meskipun mengalami berbagai penderitaan itu dia mengaku tidak lagi memiliki dendam terhadap mantan pelaku terorisme. “Agama saya tidak mengajarkan kekerasan. Jika pelaku meminta maaf maka saya akan memaafkan secara tulus untuk berdamai,” ujar Anom.
Penyintas Bom Kuningan 2004, Nanda Olivia Daniel dan Sarbini, juga berbagi kisah dalam kegiatan tersebut. Pagi hari, 9 September 2004, Nanda sedang naik bus kota menuju kampusnya di kawasan Kuningan. Ketika bus yang ditumpanginya berhenti di seberang kantor Kedutaan Besar Australia, Kuningan, Jakarta Selatan, tiba-tiba ledakan sangat keras terjadi, membuatnya terhempas dan terjatuh dari bus. Ledakan bom itu menyebabkan luka serius di jari tangan, gendang telinga, dan pundaknya. Dia harus menjalani perawatan medis sekitar delapan bulan untuk memulihkan kesehatannya. Sementara itu, Sarbini menceritakan dirinya terkena ledakan bom saat sedang bekerja memasang jaringan kabel di Plaza 89, gedung di seberang Kedutaan Besar Australia. Ledakan menyebabkan tubuhnya terpental hingga mengalami luka parah di bagian dahi dan harus mendapatkan puluhan jahitan.
Pelatihan Tim Perdamaian juga menghadirkan penyintas Bom JW Marriott 2003, Agus Suaersih. Ibu satu anak itu terkena ledakan bom saat sedang bekerja di Restoran Syailendra Hotel JW Marriott Jakarta. “Saat itu tamu sangat banyak dan waiting list. Bom meledak saya terlempar tujuh meter. Alhamdulillah posisi saya di belakang pilar sehingga tidak mengalami luka parah atau luka bakar,” tutur wanita yang biasa disapa Ade ini. Ledakan itu, lanjut dia, mengakibatkan luka patah di tulang hidung, koyak di pipi kanan, luka di kepala, serta luka bakar di punggung dan kaki.
Sebagai penyintas terorisme, Wayan, Anom, Nanda, Sarbini, dan Ade tak memiliki dendam terhadap Kurnia bahkan telah memaafkannya. “Saya tidak benci pada pelaku. Saya sering dinasihati ustaz bahwa setiap musibah apa pun ada hikmahnya jadi kita ambil saja hikmahnya,” kata Sarbini.
Direktur AIDA, Hasibulllah Satrawi, mengatakan kegiatan yang melibatkan penyintas dan mantan pelaku ini merupakan modal awal untuk membentuk Tim Perdamaian yang akan berbagi kisah kepada masyarakat luas, terutama generasi muda di sekolah-sekolah. Penyampaian kisah mereka dinilai penting guna menanamkan semangat melestarikan perdamaian di masyarakat.
Korban dan mantan pelaku yang telah berekonsiliasi dan menjadi Tim Perdamaian dijadwalkan melakukan safari kampanye perdamaian di lima sekolah di Bandar Lampung, yaitu SMA Taman Siswa, SMAN 2, SMAN 3, SMAN 8, dan SMAN 9. [AS]
* Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi XIII Juli 2017.