Forum Perdamaian Bahas ‘Jalan Tengah’

Dian Septiari
THE JAKARTA POST/JAKARTA
Puluhan akademisi, aktivis perdamaian dan pemuka agama dari seluruh dunia bersiap untuk bertemu dan bertukar pandangan tentang bagaimana meraih perdamaian dunia dalam event dua tahunan ketujuh Forum Perdamaian Dunia di Jakarta.
“Kali ini kita akan mengangkat isu jalan tengah, yang lebih dari sekadar moderasi, ini adalah tentang [kombinasi] keseimbangan, keadilan dan moderasi yang ingin kita usulkan sebagai solusi bagi peradaban dunia,” utusan khusus presiden untuk dialog dan kerja sama antaragama dan peradaban, Din Syamsudin, mengatakan pada Senin.
Acara tiga hari ini diselenggarakan bersama oleh Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban, Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) Indonesia dan Cheng Ho Multicultural and Education Trust Malaysia.
Sembilan puluh lima peserta dari seluruh dunia, serta lebih dari 100 dari Indonesia telah mengonfirmasi kehadiran mereka.
Din mengatakan dunia saat ini terjebak dalam paham-paham ekstremis dari semua jenis, termasuk agama dan ideologi nasional, yang telah mengakibatkan ketidakaturan, ketidakpastian dan gangguan yang termanifestasikan dalam sejumlah krisis seperti perubahan iklim, kerawanan pangan, perang, juga krisis ekonomi dan keuangan.
”Ini semua disebabkan oleh ekstremisme. Liberalisme ekonomi, politik, dan budaya adalah salah satu bentuk ekstremisme yang menyebabkan krisis. Kita harus membawanya kembali ke jalan tengah,” kata dia, menambahkan bahwa keyakinan agama dan ideologi nasional bisa digunakan sebagai dasar untuk pandangan semacam itu.
Din menambahkan bahwa presiden Joko “Jokowi” Widodo dijadwalkan untuk membuka konferensi pada Selasa malam dan menyampaikan pidato utama, meskipun belum ada konfirmasi.
Setelah upacara pembukaan, panel khusus, yang dimoderatori oleh mantan menteri luar negeri Hassan Wirajuda, akan bersidang untuk membahas tema tersebut dan menguraikan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan jalan tengah.
Presiden Negara Federal Mikronesia, Peter M. Christian, mantan anggota Komite Nobel Perdamaian, Gunnar Stalsett, dan mantan perdana menteri Timor Leste, Mari Alkatiri, di antara pembicara dalam panel tersebut.
Pada hari Rabu, panel-panel terpisah akan diadakan untuk membahas tema agama, ideologi nasional, ekonomi dan politik jalan tengah. Sesi terakhir pada hari Kamis akan mendiskusikan implementasi jalan tengah di sektor budaya.
Din mengidentifikasi dampak positif dan negatif dari ideologi dunia yang mendorong liberalisme dalam banyak aspek, termasuk ekonomi, politik, dan budaya.
“Ada terlalu banyak kebebasan, untuk tidak menyebut dunia telah menjadi terlalu antroposentris.”
Dia mengatakan baik liberalisme dan konservatisme adalah bentuk-bentuk ekstremisme, yang bertentangan dengan gagasan jalan tengah.
”Bahkan konservatisme tidak membawa kemajuan pada peradaban.”
Manajer CDCC untuk program duta besar dan kerja sama, Yuli Mumpuni Widarso, mengatakan bahwa peserta akan bertukar pandangan berdasarkan pengalaman dari negara asal mereka.
”Kami akan mengomunikasikan aspirasi dan cita-cita para aktivis perdamaian kepada para pembuat kebijakan yang pada akhirnya akan menjadi pihak-pihak yang mengimplementasi gagasan-gagasan itu.”
Dia menambahkan bahwa ada beberapa masukan dari beberapa negara yang merekomendasikan semacam kerja sama antarpeserta.
Din mengatakan meskipun forum itu juga diselenggarakan oleh kantor utusan khusus presiden, itu bukan bagian dari pemerintah dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghasilkan perjanjian yang mengikat secara hukum, tetapi hanya menyediakan sebuah kesempatan untuk memulai diskusi dan merumuskan ide-ide ke depan.
“Meskipun demikian, setelah banyak diskusi panel, harus ada kesimpulan yang disepakati oleh semua peserta,” tambahnya.
Artikel ini diterjemahkan dari The Jakarta Post edisi 14 Agustus 2018