Korban Aksi Terorisme di Surabaya Sedang Dievakuasi Petugas. Photo: Tribunnews
Home Opini Pentingnya Jaminan Rehabilitasi Korban Terorisme
Opini - 28/02/2019

Pentingnya Jaminan Rehabilitasi Korban Terorisme

Oleh: M. Syafiq Syeirozi, Program Manager Aliansi Indonesia Damai (AIDA)

Dalam UU No. 5 Tahun 2018 ada dua kategori yang disebut sebagai korban tindakan terorisme, yakni korban langsung dan korban tidak langsung. Korban langsung adalah korban yang langsung mengalami dan merasakan akibat tindak pidana terorisme, misalnya korban meninggal atau luka berat karena ledakan bom. Sementara korban tidak langsung adalah mereka yang menggantungkan hidupnya kepada korban langsung, misalnya istri yang kehilangan suami yang merupakan korban langsung atau sebaliknya. Tulisan ini akan memberikan contoh dan gambaran betapa pentingnya Negara harus memberikan layanan medis seumur hidup, dan rehabilitasi psikologis dan psikososial bagi para korban terorisme.

Hasil penelitian Tim Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar terhadap korban tindak pidana terorisme di Kota Solo, Jakarta, dan Bali menyimpulkan, korban terorisme mengalami kerugian secara fisik yaitu luka-luka akibat terkena serpihan bom pada bagian mata yang menyebabkan gangguan penglihatan, kemudian luka pada bagian tubuh lainnya seperti perut, tangan yang hampir putus, gangguan pendengaran, gangguan saraf, dan mengalami trauma berkepanjangan. Trauma yang dialami tidak hanya pada diri korban langsung, tetapi termasuk juga keluarga korban. Selain kerugian fisik, para korban juga mengalami kerugian secara ekonomi berkaitan dengan biaya pengobatan pemulihan luka yang berkepanjangan. Sementara bagi keluarga korban, kehilangan orang yang menjadi tulang punggung keluarga telah melemahkan kemampuan ekonomi keluarganya (2016, 84).

Mulyono, korban Bom Kuningan, menyampaikan kisahnya dalam Dialog Interaktif Belajar Bersama menjadi Generasi Tangguh di SMAN 1 Pajo, Dompu, Nusa Tenggara Barat (17/9/2018).
Mulyono, korban Bom Kuningan 2004, menyampaikan kisahnya dalam Dialog Interaktif Belajar Bersama menjadi Generasi Tangguh di SMAN 1 Pajo, Dompu, Nusa Tenggara Barat (17/9/2018).

Salah seorang korban, Mulyono misalnya, akibat ledakan bom di depan Kedubes Australia, rahangnya  hancur sehingga harus ditransplantasi dari sebagian tulang kecil kakinya. Selain di Jakarta, pengobatannya berjalan selama dua tahun empat bulan di Singapura, dan setahun lebih menjalani terapi di Australia. Proses operasi yang dia jalani kurang lebih sebanyak 30 kali. Setahun lebih pascamusibah, dia hanya bisa makan melalui selang yang langsung dimasukkan ke lambungnya.

Setelah satu dekade lebih peristiwa berlalu, rasa sakit tak tertahankan di rahang hingga menjalar ke kepala masih sering dia alami, terutama saat bangun tidur di pagi hari. Karena itu ia harus rutin memeriksakan kesehatannya ke dokter. Sejak pertengahan tahun 2016, Mulyono mendapatkan bantuan rehabilitasi medis yang diberikan Negara melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Sementara itu, status single parent harus disandang oleh Ni Luh Erniati di usia yang cukup muda. Suaminya, Gede Badrawan, meninggal dunia akibat bom yang meledak di Sari Club kawasan Legian Kuta Bali pada 12 Oktober 2002. Gede meninggalkan dua anak yang saat itu masih kecil-kecil.

Erniati hampir kehilangan hak asuh terhadap anak-anaknya mengingat jalur keturunan anak ditentukan kepada garis keturunan bapaknya bersama seluruh tanggung jawab, hak, dan kewajibannya. Keluarga mertuanya tidak percaya Erniati mampu mengasuh anak-anaknya. Namun karena perjuangannya yang sangat gigih, ia berhasil membuktikan dirinya mampu membesarkan anak-anaknya.

Erniati memang sempat terpuruk, bahkan sempat ingin bunuh diri. Namun anak-anaknya menjadi pendorong semangatnya untuk bangkit. Erni lantas bekerja sebagai penjahit di Adopta (usaha yang didirikan oleh beberapa janda korban Bom Bali dengan sumbangan modal donatur swasta) hingga sekarang. Anaknya yang sulung kini telah meraih gelar sarjana sementara anaknya yang kedua dalam proses kuliah. Biaya pendidikan keduanya dibantu oleh Yayasan Kemanusiaan Ibu Pertiwi (YKIP).

Masih banyak janda-janda lain korban terorisme. Status janda pasti akan melimpahkan tugas dan beban yang berat bagi seorang perempuan. Karena yang bersangkutan harus mengurus sendiri seluruh kebutuhan diri dan anak-anaknya. Seorang perempuan yang menjanda harus perkasa menghadapi tantangan sosial dalam mencari nafkah materi. Secara sosial, status janda cenderung dipahami bahkan disikapi secara negatif oleh sebagian masyarakat.

Seorang janda memiliki lebih banyak batasan-batasan sosial yang hidup di masyarakat, seperti kebebasannya berada di luar rumah, pergaulannya dengan masyarakat luas, khususnya dengan kaum laki-laki. Bila hal ini tidak diperhatikan, maka seorang janda akan berhadapan dengan tuduhan tertentu yang bersifat negatif. Di sisi lain, seorang yang menjanda juga tetap harus tangguh dan tetap lembut dalam mencukupi seluruh kebutuhan nonmaterial anak-anaknya, baik dalam hal spiritual, sosial, pendidikan, keagamaan, dan aspek lainnya (Satrawi, 2018, 117-120).

Contoh kisah dari kedua orang korban langsung dan tidak langsung di atas menunjukkan bahwa tragedi terorisme mengakibatkan penderitaan fisik, psikis, dan kerugian ekonomi para korban dalam rentang waktu panjang. Rehabilitasi dan kompensasi bermanfaat mengembalikan kualitas hidupnya, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun material. Dalam banyak kasus yang dapat kita temui, tanggung jawab Negara dalam pembiayaan medis korban terorisme hanya seumur jagung. Demikian pula dengan kepedulian khalayak luas. Padahal sebagian penyintas harus mendapatkan perawatan medis seumur hidup. Karena itu sangat penting Negara memastikan jaminan pembiayaan rehabilitasi medis, psikologis dan psikososial korban terorisme hingga pulih.