Penyintas Aksi Teror: Dengan Memaafkan Saya Bisa Hidup Dengan Tenang
ALIANSI INDONESIA DAMAI – Dua orang anggota Tim Perdamaian secara bergantian mengisahkan pengalaman masing-masing di hadapan puluhan siswa SMAN 7 Serang akhir Januari lalu. Yang pertama adalah Ni Wayan Ani, seorang penyintas aksi teror bom yang terjadi di Pantai Jimbaran, Bali pada tahun 2005. Duduk di sebelahnya ialah Kurnia Widodo, mantan narapidana kasus terorisme yang telah meninggalkan dunia kekerasan.
Sebagai orang yang pernah terlibat dengan jaringan teroris, Kurnia telah meminta maaf kepada para korban dan keluarganya, terkhusus kepada Ani yang berada dalam satu forum dengannya dalam kegiatan itu. Bak gayung bersambut, Ani pun telah membuka lebar pintu maaf bagi Kurnia. Ani menyadari bahwa Kurnia masa lalu yang menjadi anggota kelompok teroris, telah berubah menjadi Kurnia hari ini yang mengampanyekan perdamaian.
“Saya telah memaafkan pelaku, karena bagi saya dengan memaafkan saya bisa hidup dengan tenang, tenteram, dan bahagia,” kata Ani.
Ibu dua anak ini menjadi korban aksi teror Bom Bali II pada 1 Oktober 2005 saat bekerja sebagai pramusaji di Kalanganyar Café, sebuah restoran makanan laut di pesisir Pantai Jimbaran. Di kawasan tersebut berderet rumah makan yang setipe dengan tempatnya bekerja, yang hampir setiap malam ramai dikunjungi wisatawan baik lokal maupun mancanegara.

Ani mengingat, sekitar satu jam sebelum kejadian di sela-sela melayani tamu, ia sempat ditanya oleh seorang laki-laki yang memakai ransel perihal rumah makan yang paling ramai pengunjungnya. Tanpa perasaan curiga Ani pun menunjuk rumah makan di sebelah tempatnya bekerja. Ia tak menyangka belakangan terkuak bahwa lelaki yang menanyainya ialah pelaku bom bunuh diri.
Saat waktu menunjukkan pukul 18:55 WITA, sebuah ledakan yang cukup besar terjadi. Ani yang waktu itu berjarak sekitar 5 meter dari ledakan terhempas hingga jatuh terluka karena serpihan bom. Semua di sekitarnya menjadi porak poranda. Walaupun saat itu ia dalam kondisi sadar dan bisa melihat dan mendengar, namun ia tidak sanggup bergerak. Ia ditolong oleh seorang rekan kerjanya, kemudian dibawa ke rumah sakit terdekat. Setelah berada di dalam mobil evakuasi, ia tidak sadarkan diri akibat darah yang terus menerus bercucuran.
Akibat ledakan itu, ia harus menjalani perawatan intensif selama satu bulan di rumah sakit. Ia mengatakan bahwa dokter sempat mengalami kesulitan saat mengangkat benda asing semacam gotri dan serpihan logam yang bersarang di kepalanya. Ia sempat direkomendasikan untuk melakukan perawatan di Australia, namun karena pertimbangan masih harus menyusui anaknya, ia memilih melakukan perawatan di Indonesia.
Tak hanya luka fisik, Ani juga mengalami trauma. Ia mengaku sangat takut bila mendengar ledakan petasan atau melihat seseorang memasang tabung gas. Ia khawatir akan ada ledakan seperti yang pernah mengenainya dulu. Meski demikian, berkat dukungan dari keluarga dan teman-temannya ia mampu bangkit dari keterpurukan itu. Ia mengaku rela menjalani takdirnya, serta ikhlas memaafkan para pelaku.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama Kurnia mengisahkan pengalamannya bergelut dengan dunia kekerasan sebelum akhirnya ia berbalik meniti jalan kehidupan yang damai. Doktrin-doktrin yang ditekankan di dalam kelompoknya di masa lalu, kata dia, adalah dorongan untuk berjuang membela agama, termasuk dengan cara melakukan kekerasan terhadap orang lain. Setelah ditangkap aparat keamanan dan menjalani hukuman, sedikit demi sedikit muncul kesadaran dalam dirinya akan dampak dari paham terorisme yang dianutnya dahulu.
Salah satu yang membuatnya tersadar adalah derita orang-orang yang menjadi korban aksi terorisme. Sebelum kegiatan di SMAN 7 Serang di mana ia bertemu Ani, Kurnia telah beberapa kali dipertemukan dengan korban-korban terorisme dalam berbagai kegiatan Aliansi Indonesia Damai (AIDA). Ia mengaku salut dan terharu ketika para korban tidak menyimpan dendam, tetapi justru memaafkannya dan mengajarkan kepada keluarga dan anak-anak mereka untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan.
Kurnia menyatakan bahwa keputusannya untuk berbagi pengalaman masa lalunya dengan para pelajar bertujuan agar generasi muda tidak terjerumus ke jerat pemahaman keagamaan yang menyimpang, seperti yang pernah ia rasakan dahulu. “Sebelum saya bercerita, saya ingin meminta maaf terlebih dahulu kepada para korban. Saya tidak bermaksud membanggakan diri atas apa yang pernah saya lakukan di masa lampau. Tapi tujuan saya jelas agar adik-adik sekalian tidak terjerumus di lubang yang sama seperti yang saya alami,” ungkapnya.
Tim Perdamaian AIDA, Ani dan Kurnia, berbagi pengalaman masing-masing sebagai korban dan mantan pelaku terorisme dalam kegiatan Dialog Interaktif bertema “Belajar Bersama menjadi Generasi Tangguh” di SMAN 7 Kota Serang, (29/1/2019). Kegiatan dimaksudkan untuk menumbuhkan semangat ketangguhan diri para pelajar. Ketangguhan sangat dibutuhkan generasi muda di tengah era serba digital di mana berbagai tantangan perdamaian tersebar.
Para siswa peserta Dialog Interaktif di SMAN 7 Serang terlihat antusias mengikuti kegiatan ini sejak dari awal hingga akhir. Tak sedikit dari mereka yang berlomba-lomba mengajukan pertanyaan kepada para narasumber. Dari kisah mantan pelaku dan korban terorisme, para peserta dapat mengambil hikmah yang sangat berharga sebagai bekal untuk membentuk ketangguhan pada diri mereka, yakni menjadi generasi tangguh dengan semangat perdamaian. [SWD]