Berbagi Kisah Perdamaian di SMAN 1 Paiton
“Dampak dari kejadian itu, saya mengalami trauma hampir 6 bulan. Saya tidak pernah keluar rumah. Saya sempat berpikir untuk apa lagi saya hidup. Istri yang saya sayangi telah pergi meninggalkan saya.”
I Wayan Sudiana
ALIANSI INDONESIA DAMAI – Demikian potret kesedihan I Wayan Sudiana saat menceritakan tragedi Bom Bali 12 Oktober 2002 yang merenggut nyawa istri tercintanya. Pria yang kerap disapa Wayan ini berbagi kisah ketangguhannya di hadapan para siswa SMAN 1 Paiton, Probolinggo dalam Dialog Interaktif bertema “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” akhir April lalu. Sebanyak 50 siswa dari sekolah tersebut menjadi peserta dalam kegiatan yang diinisiasi oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA).
Pada malam kejadian, istri Wayan bekerja sebagai karyawan di salah satu restoran yang menjadi target pengeboman. Ia tidak pernah menyangka sebelumnya Pulau Dewata akan diserang aksi teror. Seperti hari-hari biasanya, selepas mengantarkan istri ke tempat kerja, ia langsung pulang sambil membawakan nasi goreng untuk anak-anaknya. Menjelang tengah malam, ia keluar rumah untuk menjemput sang istri.
Di tengah perjalanan itulah Wayan mendengar ledakan yang sangat dahsyat. Dia menyaksikan kendaraan di sekitarnya bergoyang, termasuk sepeda motor yang dia kendarai. Namun, ia tak berpikir bahwa ledakan itu adalah bom. Dia pun melanjutkan perjalanan ke tempat istrinya bekerja.
Sesampainya di sana, Wayan sangat terkejut melihat suasana yang begitu mencekam. Bangunan luluh lantak, kendaraan terbakar, dan serpihan tubuh manusia tersebar di mana-mana. Seorang teman memberitahu Wayan bahwa beberapa menit yang lalu terjadi sebuah ledakan bom, tepat di depan restoran tempat istrinya bekerja.
Di tengah suasana yang mencekam itu, Wayan berusaha mencari istrinya. Setelah cukup lama mencari kesana kemari, ia pun akhirnya menemukan istrinya dalam keadaan yang sudah tak bernyawa, dengan kondisi jasad yang tidak utuh lagi. Di hadapan para siswa peserta Dialog Interaktif, Wayan tak sanggup menahan kesedihannya. Dia kehilangan istri terkasih sekaligus ibu bagi anak-anaknya yang masih kecil.
Peristiwa itu benar-benar membuatnya terpuruk. Dia sempat lama mengurung diri dan enggan beraktivitas. Butuh waktu bagi Wayan untuk dapat bangkit. Lambat laun, ia menyadari bahwa hidup harus terus berlanjut. Dia harus bangkit untuk melampaui kesedihannya.
Pada November 2015 di Surakarta, Jawa Tengah, Wayan dipertemukan dengan mantan pelaku terorisme dalam sebuah kegiatan AIDA. Melihat ketulusan mantan pelaku dalam bertobat dari dunia kekerasan, Wayan pun berlapang hati untuk memaafkan. Dengan memaafkan ia berharap bisa terwujud perdamaian di Tanah Air.
Saat ini, Wayan tergabung di dalam Tim Perdamaian AIDA, persatuan antara korban dan mantan pelaku terorisme untuk mengampanyekan perdamaian kepada masyarakat.
Turut hadir dalam Dialog Interaktif di SMAN 1 Paiton adalah seorang mantan narapidana kasus terorisme, Choirul Ikhwan. Pria kelahiran Madiun 39 tahun silam itu mengisahkan, salah satu faktor yang membuatnya terjerumus ke dalam dunia kekerasaan terorisme adalah kurangnya perhatian keluarga. Dia menganggap orang tuanya tidak menyayanginya karena terlalu sibuk dengan pekerjaan.
Sejak saat itu, Choirul jadi sering berkumpul dengan kelompok-kelompok yang memiliki pemahaman keagamaan yang ekstrem. Secara perlahan ia pun mulai meninggalkan keluarganya. Puncaknya, dia bahkan mengafirkan seluruh anggota keluarganya sendiri, dengan alasan bahwa mereka tunduk kepada pemerintah Indonesia, negara yang dianggapnya sebagai taghut (musuh Allah).
Perjalanannya keluar dari jaringan kelompok terorisme bermula tatkala dia mendapat kabar bahwa ibunya meninggal dunia. Kabar tersebut membuat hati Choirul yang tadinya keras menjadi luluh. Dia menyesal telah meninggalkan orang tuanya. Dia menangis karena tidak menemani ibunya di masa-masa kritis.
Sejak saat itu, Choirul mulai merevisi pemahaman keagamaannya dan sedikit demi sedikit mulai keluar dari jeratan terorisme. Pertemuannya dengan korban terorisme semakin memantapkan hatinya untuk meninggalkan kekerasan seutuhnya. Di akhir kisahnya, dia berpesan agar para siswa selalu berpikir positif terhadap keluarga dan peduli dengan perdamaian Indonesia.
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, mengatakan bahwa Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” ini bertujuan untuk memompa semangat ketangguhan pelajar dalam menghadapi tantangan kehidupan. Dari kisah korban dan mantan pelaku, siswa diharapkan dapat belajar tentang hakikat ketangguhan dan pantang menyerah, serta bagaimana bersikap ketika berbuat salah atau mengalami musibah.
Para siswa tampak antusias mengikuti alur kegiatan. Usai kegiatan, salah seorang siswa mengaku mendapatkan pembelajaran penting dari penuturan kisah korban dan mantan pelaku. Ke depannya, siswa tersebut mengaku akan mensosialisasikan perdamaian dan lebih mengutamakan untuk memaafkan daripada membalas dendam atas kesalahan orang lain. [FAH]