05/10/2020

Kekerasan Tidak Menyelesaikan Masalah

Aliansi Indonesia Damai- Bulan Oktober tahun 2002 menjadi bulan kelam yang sulit untuk dilupakan masyarakat Pulau Dewata. Pada bulan itu, bom mahadahsyat meledak di kawasan Legian, Kuta Bali. Tercatat 200 lebih korban meninggal dunia, sementara ratusan lainnya mengalami luka-luka. Peristiwa itu menjadi peristiwa teror paling besar sekaligus paling mematikan dalam sejarah terorisme di Indonesia.

Salah seorang korban tidak langsung dari ledakan itu adalah I Wayan Sudiana. Ia mengalami trauma karena harus kehilangan seorang istri. Semenjak peristiwa itu,  Wayan, sapaan akrabnya harus menjadi bapak sekaligus “ibu” bagi anak-anaknya yang masih kecil. Meski demikian, Wayan tetap bersabar hingga mampu menerima kenyataan yang telah terjadi.

Baca juga Karena Dendam Tak Boleh Diwariskan

Dia bergabung bersama tim perdamaian AIDA dengan harapan kisah hidupnya dapat memberikan inspirasi perdamaian bagi khalayak luas. Dalam salah satu acara virtual AIDA di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, 21 September 2020 lalu, Wayan turut menjadi narasumber untuk berbagi kisahnya kepada mahasiswa.

Kepada seratusan mahasiswa yang hadir secara daring, Wayan mengisahkan bahwa pada malam itu ia sedang akan bekerja. Meski tidak menduga bahwa ledakan keras yang menggetarkan tanah adalah peristiwa pengeboman, namun ia khawatir bahwa ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.

Baca juga Menyembuhkan Luka Batin Anak Korban Bom

Ia lantas mengecek sumber ledakan. Wayan begitu shock karena bumbungan asap tebal dan api yang berkobar itu berasal dari tempat istrinya bekerja. Dengan tubuh bergetar ia mencari keberadaan sang istri. “Saya merasa kaget. Hati saya teriris. Saya melihat serpihan bangunan dan beberapa potongan tubuh manusia,” tutur Wayan mencoba mengingat peristiwa itu.

Setelah hampir satu jam tak kunjung menemukan sang istri, ia pun diminta oleh keluarga untuk mencarinya di RS Sanglah Denpasar. “Saya sempat marah kepada keluarga, kenapa cari di RS ini. Ternyata semua orang yang terkena ledakan, harus dibawa ke RS tersebut,” cerita Wayan.

Saat itulah Wayan menyaksikan banyak hal mengerikan. ”Saya melihat ada beberapa korban meninggal dunia dengan kondisi yang sangat mengerikan. Badannya terbakar,” tuturnya.

Pada akhirnya, Wayan menemukan potongan tubuh istrinya. Dilakukanlah upacara pemakaman Ngaben.

Baca juga Kisah Perempuan Korban Bom Bali 1: Mengganti Peran Sosok Ayah

Kehilangan seorang istri bukanlah perkara mudah bagi Wayan. Pasalnya, selama ini sang istri yang selalu mendidik anak-anaknya. Meski begitu, Wayan tetap mencoba membahagiakan anak-anaknya. ”Karena dorongan untuk membahagiakan anak-anak, saya memberanikan diri untuk mengajak anak-anak jalan-jalan,” ungkapnya.

Beberapa tahun setelahnya, Wayan bergabung bersama Isana Dewata, komunitas yang menghimpun para korban bom Bali. Ia juga mendapatkan amanah untuk menjadi ketua dalam komunitas itu. Pada akhir kisahnya, Wayan mengajak mahasiswa sebagai agen perubahan untuk selalu menjaga perdamaian di Indonesia. Ia juga berharap tidak ada lagi kekerasan, apalagi kekerasan mengatasnamakan agama.

“Generasi muda adalah generasi penerus bangsa. Marilah terus menebarkan perdamaian, menjaga rasa guyub, dan jangan membalas kekerasan dengan kekerasan karena kekerasan tak mungkin bisa menyelesaikan masalah,” ucap Wayan memungkasi kisahnya.

Baca juga Penyintas Bom Bali Menjadi Bapak Sekaligus Ibu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *