18 Tahun Bom Bali: Cinta untuk Mereka yang Tiada (Bag. II-Terakhir)
Selain Rencini, kenyataan pahit akibat Bom Bali 2002 juga dialami keluarga I Wayan Sudiana. Malam itu, tak lama sepulang mengantarkan istrinya untuk bekerja di Sari Club Kuta Bali, suara ledakan keras terdengar. Saking kerasnya, Wayan merasakan tanah yang ia pijak bergetar. Ia melihat asap tebal membumbung tinggi. Wayan menduga hal itu disebabkan ledakan gardu listrik yang tak jauh dari posisinya berada.
Dugaannya salah. Sumber ledakan berasal dari tempat istrinya bekerja. Ia memutuskan putar balik ke lokasi istrinya bekerja, memaksa menerobos masuk ke lokasi kejadian untuk mencari sang istri. Berjam-jam tak kunjung ditemukan. Keesokan harinya ia meneruskan pencarian ke beberapa rumah sakit yang menjadi rujukan korban ledakan. Namun tak menuai hasil.
Baca juga 18 Tahun Bom Bali: Cinta untuk Mereka yang Tiada (Bag. I)
Ia makin merasa bingung saat kedua buah hatinya menanyakan keberadaan sang ibu. Beberapa hari kemudian, ia berhasil menemukan jasad istrinya yang sudah tak utuh lagi. Hal itu menimbulkan trauma yang sangat mendalam bagi Wayan. Selama enam bulan setelahnya, ia mengidap ketakutan yang berlebihan sehingga nyaris tidak pernah keluar rumah.
Dukungan rekan, saudara, dan melihat keadaan kedua buah hatinya yang masih belia membuat Wayan tersadar. Dia tidak boleh selamanya dalam keterpurukan. Secara perlahan ia memutuskan kembali bekerja mencari nafkah. Tak ada sosok lain yang dapat diandalkan oleh buah hatinya selain dia. Ia berkomitmen mendidik kedua buah hatinya seperti yang dulu dilakukan oleh istrinya. Harapannya kelak mereka menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Baca juga Jalan Panjang Kebangkitan Korban Bom Bali 2002: Penyembuhan Luka (Bagian I)
Cita-cita dan harapan orang tua juga melekat erat di pundak Alif dan Aldi. Mereka adalah putra dari almarhum Imawan Sardjono yang juga meninggal akibat serangan itu. Saat peristiwa terjadi, mereka berdua masih balita dan belum mengerti betul tentang arti kematian. Alif kecil yang sangat dekat dengan mendiang ayahnya, mengalami rasa trauma kehilangan sang ayah. Ia menjadi pribadi yang lebih rewel dan emosional ketimbang sebelumnya.
Beruntung Alif dan Aldi memiliki sosok ibu yang kuat dan tangguh. Ia adalah Hayati Eka Laksmi. Perempuan yang kini berprofesi sebagai guru tersebut menyadari bahwa kejadian itu tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri, tetapi juga bagi kedua jagoan kecilnya. Dengan kesadaran itu, Eka bertekad bangkit dan kuat menghadapi kenyataan hidup demi kedua buah hatinya.
Baca juga Jalan Panjang Kebangkitan Korban Bom Bali 2002: Upaya Kebangkitan (Bagian II-Terakhir)
Ketangguhan Eka tidak sia-sia. Semangat bangkit dari keterpurukan yang ia tularkan kepada kedua buah hatinya berhasil mengantarkan Alif dan Aldi menjadi generasi tangguh. Kini keduanya sedang menempuh jenjang kuliah pendidikan tinggi. Alif di salah satu sekolah kedinasan pemerintah, sedangkan Aldi di perguruan tinggi swasta di Malang.
Hari ini, tak terasa sudah 18 tahun peristiwa kemanusiaan itu terjadi. Konon, ledakan itu adalah peristiwa terorisme terbesar yang pernah melanda Indonesia. Tangisan sakit karena kehilangan yang pernah mereka rasakan, kini berubah menjadi motivasi diri dan ungkapan cinta untuk mereka yang telah tiada.
Baca juga Kekerasan Tidak Menyelesaikan Masalah