Pengalaman Mendampingi Korban Terorisme
Oleh: Lida Hawiwika
Aliansi Indonesia Damai- Aku belum mengenalnya sore itu. Namun, kutangkap ada ketegaran di dalam dirinya. Lehernya masih harus ditopang alat bantu penyangga saat kukunjungi kosnya. Cederanya itu ia dapat setelah sintas dari insiden terorisme di Jl. MH Thamrin, Jakarta Pusat pada awal tahun 2016.
Setelah berkenalan, kuketahui namanya Dwi Siti Rhomdoni. Akibat musibah itu, Dwiki, sapaan akrabnya, mengalami fraktur di leher, luka di bagian kaki dan wajah, serta gangguan pada beberapa jaringan saraf. Trauma psikis juga menderanya. Mengingat kondisi fisiknya yang masih sangat lemah, tak banyak yang kami bicarakan saat itu. Sekadar perkenalan singkat. Namun, aku berpesan agar ia tidak ragu menghubungi jika butuh bantuan.
Usai peristiwa Bom Thamrin 14 Januari 2016, mewakili Aliansi Indonesia Damai (AIDA) aku berusaha menghubungi beberapa korban, menawarkan bantuan dan pendampingan. Dwiki merespons dan berkenan untuk dikunjungi di rumah kos yang dia tinggali sendiri.
Selang beberapa hari setelah kunjungan pertama, Dwiki menghubungi, mengabarkan bahwa kondisinya drop. Ditemani seorang kolega dari AIDA, aku kembali berkunjung ke kosnya. Untuk meringankan sakitnya, aku baluri beberapa bagian tubuhnya dengan minyak kayu putih, lalu memijitnya barang beberapa menit. Kemudian, aku mencoba membantunya makan secara perlahan supaya dia dapat mengonsumsi obat dari dokter. Setelah kondisinya cukup membaik, barulah kami berani untuk pamit pulang.
Baca juga Korban Bom Thamrin Mengubah Dendam Menjadi Ikhlas
Beberapa hari berikutnya, Dwiki kembali menghubungi. Aku pun bergegas menuju kosnya. Dalam perjalanan, kusempatkan mampir ke sebuah warung makan untuk membeli sup hangat dengan harapan dapat membangkitkan nafsu makan korban terorisme itu. Namun, melihat kondisinya, niatku untuk menyuapinya hilang. Wajahnya pucat pasi. Keringat dingin menetes membasahi dahinya. Tampak ia menahan sakit yang luar biasa. Ia genggam erat tanganku sambil mulutnya terus merapal kalimat istighfar. Sesekali matanya dipejamkan.
Aku sempat panik karena perempuan yang umurnya sekitar 10 tahun lebih tua dariku itu tiba-tiba tidak sadarkan diri. Olesan minyak kayu putih membuatnya siuman. Tak lama kemudian salah seorang temannya datang membawa mobil untuk mengantar kami ke rumah sakit rujukan, RS Polri Kramat Jati Jakarta Timur. Dalam perjalanan, Dwiki yang bersandar di bahuku itu tampak lemah hingga pingsan. Saat siuman, ia mengatakan dirinya tidak kuat menahan sakit.
Doa tak henti kurapalkan baik dalam hati maupun lisan, seraya berharap kondisi lalu lintas ibu kota berpihak sehingga Dwiki segera mendapatkan pertolongan intensif.
Cemas, sedih, dan takut bercampur aduk dalam diriku. Betapa mengerikannya jika hal yang tidak diinginkan terjadi padanya. Tentu penyesalan akan terus menghantui karena gagal membantu menyelamatkan hidup seseorang. Doa tak henti kurapalkan baik dalam hati maupun lisan, seraya berharap kondisi lalu lintas ibu kota berpihak sehingga Dwiki segera mendapatkan pertolongan intensif.
Adalah hal yang sangat membahagiakan ketika kami tiba di RS Polri setelah menempuh hampir dua jam perjalanan. Di sana telah menunggu salah seorang pengurus Yayasan Penyintas Indonesia (YPI), sebuah paguyuban, wadah komunikasi para korban terorisme.
Tindakan pertama yang dilakukan perawat rumah sakit hanyalah memindahkan Dwiki dari mobil menuju ruang instalasi gawat darurat (IGD) dan menanyakan keluhan yang dirasakan. Setelah itu Dwiki diminta menunggu dan bersabar. Selang waktu sepuluh menit dokter belum juga datang, dan perawat pun belum berani mengambil tindakan. Dokter jaga saat itu hanya berkata, “Ya, Mbak, mohon ditunggu. Nanti dokter akan datang untuk menangani.”
Sekitar empat puluh lima menit setelahnya, Dwiki dipindahkan ke ruang inap kelas I dan menjalani rawat inap selama beberapa hari di sana. Penanganan dan fasilitas yang didapatkan Dwiki merupakan buah campur tangan pengurus YPI yang meminta pihak-pihak terkait, terutama Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polri, agar memberikan penanganan medis yang layak kepada korban terorisme.
Beberapa hari setelahnya, kuingat waktu itu awal Februari 2016, ditemani seorang kolega dari AIDA dan pengurus YPI, saya kembali mendampingi Dwiki untuk menjalani pengobatan lanjutan seperti rontgen, medical check-up dan mengunjungi Poli Saraf untuk memastikan pengobatan yang dijalani selama ini membuahkan hasil positif. Dan, aku bersyukur penanganan medis di rumah sakit memang memulihkan kesehatannya secara bertahap. Dwiki dianjurkan untuk rutin terapi saraf, berkonsultasi ke psikiater, dan berobat jalan.
Sejak saat itu hubungan saya dengan Dwiki semakin akrab. Mulai dari sekadar bertukar kabar hingga beradu lelucon sering kami lakukan. Secara personal aku memposisikan Dwiki sebagai teman, kendati secara usia dia jauh lebih tua. Hubungan profesional masih terus berjalan. Seperti, sekali lagi, mewakili AIDA, aku mendampinginya untuk menjalani konseling psikologis. Aku bersyukur saat ini kondisi Dwiki sudah jauh lebih baik secara fisik. Dari kejadian itu aku merasa lebih bisa menghargai hidup dan menajamkan empati sehingga lebih tanggap terhadap situasi.
Baca juga Ketangguhan Penyintas Bom Thamrin