Suara Korban Suara Perdamaian
Satu dekade lebih berbagai aksi teror di Indonesia berlalu. Para korban terorisme kini tergabung dalam satu organisasi bernama Yayasan Penyintas. Peran korban sebagai pihak paling otoritatif untuk menyuarakan perdamaian sangat diharapkan publik. Redaksi SUARA PERDAMAIAN mewawancara Ketua Yayasan Penyintas, Dwi Welasih, untuk membahas hal itu. Rabu (16/12/2015), bertempat di kediamannya di Bekasi, redaksi berdiskusi dengan Ibu Dwi seputar pengalamannya memimpin organisasi korban terorisme. Simak petikan wawancaranya berikut ini!
Bagaimana kondisi fisik dan psikis para korban terorisme setelah satu dekade lebih mengalami peristiwa aksi terorisme?
Kondisinya tentu berbeda-beda. Di yayasan kita ini korbannya juga berbeda-beda. Ada korban langsung dan korban tidak langsung, yaitu keluarga dari orang-orang yang meninggal dunia karena bom. Di antara korban langsung sendiri juga berbeda-beda. Ada yang sampai sekarang masih merasakan kesakitan akibat luka bakar yang sampai 60 persen atau lebih. Saya contohkan salah satu teman kami korban Bom JW Marriott, kulitnya itu sudah tidak ada. Kata dokter yang menangani, dia terbakar 80 persen. Kulit yang melapisi daging itu sudah tidak ada. Yang ada hanya keloid-nya di bekas luka bakarnya itu. Sampai sekarang dia masih sering merasakan panas dan gatal di lukanya. Orang yang kena luka bakar itu tidak tahan di tempat yang panas. Sementara dia tinggal di kampung, rumahnya tidak ada AC. Bagaimana teman-teman seperti dia bisa tidur dengan nyenyak kalau kondisinya seperti itu? Lalu ada korban yang terkena di bagian rahang dan sampai saat ini masih harus berobat. Dia masih sering mengeluh sakit di rahang, di kepala, sehingga dia harus rutin memeriksakan diri ke dokter spesialis saraf. Sebagian teman ada yang sampai sepuluh tahun lebih sejak terkena bom masih harus mengkonsumsi obat. Kalau berhenti minum obat, dia merasakan sakit, panas, gatal di bagian luka akibat bom di tubuhnya.
Banyak teman-teman korban mengalami cacat permanen, bagian tubuhnya tidak sempurna, itu sudah pasti, itu ada banyak.Kalau tentang kondisi teman-teman korban tidak langsung menurut saya lebih pada psikisnya di mana trauma mendalam pasti masih ada meskipun tragedi teror bom sudah lama berlalu.
Di samping itu, tidak sedikit juga teman-teman korban yang kehilangan kepala rumah tangga, menjadi single parent, sementara kebutuhan untuk mengasuh, mendidik dan membesarkan anak-anak terus berjalan. Lalu dari sudut pandang anak-anak para korban, menurut saya saat ini mereka sangat merasakan dampak terorisme meskipun dahulu ketika kehilangan ayah atau ibunya belum begitu mengerti karena masih sangat muda.
Apa tujuan pendirian Yayasan Penyintas?
Pertama silaturahmi. Kita bertemu ini karena disatukan oleh Tuhan berawal dari peristiwa aksi teror mulai dari Bali 2002, Marriott 2003, Kuningan 2004 lalu ada lagi dan lagi. Dulu kami tidak saling mengenal. Baru kenal setelah kita beberapa kali bertemu sesama korban terorisme. Kemudian kami disarankan oleh penasihat kami, Bapak Imam Prasodjo, untuk membentuk satu wadah yang resmi dan legal, diakui pemerintah dan mempunyai kekuatan hukum. Maka bersatulah kami, teman-teman korban Bom Bali I dan II, korban Bom JW Marriott I dan II, dan korban Bom Kuningan menjadi satu perkumpulan bernama Yayasan Penyintas.
Dari perkumpulan ini kami berupaya memperingati tragedi-tragedi yang dulu kami alami untuk mengambil pelajaran, mengenang dan menghormati teman-teman senasib kami yang meninggal dunia akibat bom. Dengan berorganisasi ini kami menjadi lebih sering bertemu, semakin rekat hubungan di antara kami, bahkan rasa-rasanya kami dipersaudarakan dari peristiwa ini. Dari situ kami bisa saling support, saling menguatkan, saling memberi semangat. Kami juga punya keturunan, ada yang masih kecil, ada yang sudah dewasa, dengan berkumpul ini kami menginginkan ada regenerasi supaya kita tidak putus. Saya pikir itu sederhananya tujuan kami membentuk Yayasan Penyintas ini.
Apakah ada kendala atau tantangan dalam upaya membangun ikatan yang kuat di antara para anggotaYayasan Penyintas?
Kalau melihat pengalaman saya selama dipercaya menjadi Ketua, menurut saya faktor komunikasi menjadi kendala utama. Pertama, dari alat komunikasinya itu sendiri sudah merupakan kendala. Ada sebagian teman yang tinggalnya di luar kota, sementara dia sudah agak berumur. Banyak dokumen yang harus kita sosialisasikan kepada teman-teman. Praktisnya tentu lewat email. Tapi sebagian teman tidak punya email. Jangankan email, akses internet saja merupakan keterbatasan bagi sebagian teman. Kedua, komunikasi dalam arti menyangkut sifat atau karakter pribadi masing-masing anggota, itu juga kendala menurut saya. Namanya juga perkumpulan, di situ banyak manusianya, pasti sifatnya berbeda-beda juga.
Pernah juga kami mendapati kendala bagaimana caranya mengkomunikasikan kepada teman-teman bahwa ada bantuan tetapi donaturnya hanya akan memberikan kepada janda-janda korban bom. Tentu teman-teman yang lain bertanya-tanya, kenapa saya tidak mendapatkan, kenapa cuma dia, dan sebagainya. Mungkin jarak juga menjadi kendala tersendiri. Teman-teman anggota ini tersebar, ada yang di Bali, di Jakarta, dan beberapa orang tinggal di kota lain, menjembatani komunikasi di antara mereka juga merupakan tantangan yang saya rasakan. Dibutuhkan patience (kesabaran-red) yang tinggi untuk menaklukkan tantangan-tantangan itu.
Menurut Ibu seberapa penting korban terorisme perlu berperan menjadi duta perdamaian?
Kalau saya melihat itu penting sekali. Saya dan beberapa teman korban terorisme beberapa kali diundang sebagai narasumber dalam seminar, perkuliahan, atau forum-forum serupa di kampus-kampus, di lembaga-lembaga pemerintah. Menurut saya publik menyambut positif bahkan mengapresiasi apabila korban terorisme, sebagai pihak yang dekat atau bahkan lekat dengan kekerasan, mampu bersuara tentang nilai penting perdamaian. Mereka merasa benar-benar mendapatkan sumber otentik dan otoritatif untuk berbicara tentang isu kekerasan sekaligus isu perdamaian. Bahkan saya pernah dijadikan bahan penelitian, bahan tesis, dua kali oleh mahasiswa. Saya menyambut baik perhatian masyarakat yang concern dengan perdamaian atau tentang bahaya terorisme.
Secara khusus tentang program AIDA yang menyelenggarakan kampanye perdamaian di sekolah-sekolah, saya menilainya itu sangat positif. Pertama, kegiatan itu sangat efektif mendorong teman-teman korban mampu menyuarakan perdamaian kepada generasi muda. Kedua, dari kegiatan itu akan semakin banyak korban terorisme yang menjadi duta perdamaian.
Adakah kiat khusus agar para anggota Yayasan Penyintas aktif menyuarakan perdamaian ke publik?
Kalau saya boleh saran, saya mengajak teman-temanku semua, para korban terorisme, mari kita belajar untuk semakin terbuka dan meluaskan wawasan kita. Dari keterbukaan kita di antara teman-teman penyintas sendiri saya yakin akan meringankan beban kita. Menurut saya berbagi cerita, berbagi kisah, pengalaman hidup kita kepada teman-teman yang kita percayai itu sangat penting, sangat membantu kita menuju ke arah yang lebih baik.
Tapi saya juga menyadari memang tidak semua teman-teman korban bisa atau mampu bercerita, apalagi di depan umum. Kepada teman-teman yang masih kesulitan ini saya mengharapkan anggota Yayasan Penyintas bisa saling menguatkan, membantu dan berbagi. Saya senang sebelum teman-teman terjun menjadi pembicara dalam kampanye perdamaian di sekolah-sekolah, di AIDA ada semacam pelatihan kepada teman-teman. Itu sangat membantu sehingga teman-teman korban siap dan punya bekal sebelum berbicara di hadapan orang banyak. Semakin banyak berlatih, semakin tersampaikan visi-visi teman-teman korban terorisme untuk menyebarkan perdamaian.
Apa pesan Ibu kepada teman-teman korban terorisme di Indonesia?
Saya hanya ingin teman-teman merasakan bahwa kita semua sama. Status kita sama, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah kedudukannya sebagai korban. Kalau ada yang sakit parah tentu harus diprioritaskan segera dibawa ke rumah sakit, tapi tidak semua perhatian kita hanya kepada yang sakit parah saja tapi yang sakit lainnya dan keluarga korban (korban tidak langsung) itu juga perlu dapat perhatian yang sama. Semua harus adil. Bahkan yang trauma juga mendapat perhatian.
Saya yakin kita dipersatukan di Yayasan Penyintas ini bukan kebetulan tetapi karena memang kehendak Tuhan di mana kita semua mengalami peristiwa masa lalu yang sama. Saya ingin hubungan di antara kita sesama korban terorisme ini terus terjaga baik, saya betul-betul mengharapkan itu. (MLM) [SWD]