Merajut Ukhuwah Merawat Perdamaian
Kepedulian terhadap nasib sesama umat muslim memang mulia. Tetapi semangat tersebut harus teraktualisasikan dengan cara yang tepat. Jika tidak, maka yang terjadi justru keburukan, baik untuk diri sendiri maupun khalayak luas.
Pelajaran itu terpetik dari kisah Sumarno, mantan pelaku ekstremisme kekerasan. Pria asal Lamongan, Jawa Timur, tersebut pernah mendekam beberapa tahun di penjara karena terlibat dalam tindak pidana terorisme.
Baca juga Mereka yang Menemukan Jalan Kembali (Bag. 1)
Usai menyelesaikan bangku SMP, ia memutuskan menimba ilmu di pondok pesantren yang dikelola oleh paman-pamannya. Niatnya untuk mempelajari ilmu agama, tetapi justru doktrin ekstremisme kekerasan berbasis agama yang diterimanya. “Waktu itu saya didoktrin bahwa terjadi penindasan terhadap umat Islam. Saya bersemangat untuk menyelamatkan saudara-saudara sesama muslim,” ujarnya dalam kegiatan AIDA beberapa waktu silam.
Lambat laun ia juga diajarkan untuk memusuhi kelompok agama lain, membenci pemerintah Indonesia yang menganut sistem thaghut. Terkhusus kepada aparatur negara, Sumarno dan kelompoknya meragukan keislaman mereka dan menganggapnya sebagai ansharut thaghut (penolong setan).
Dilatari semangatnya menolong sesama muslim, Sumarno terlibat konflik Ambon dan Poso tahun 1999-2000. Perannya sebagai penyuplai senjata dari Jawa bagi para kombatan muslim di sana. Sepak terjangnya terhenti. Usai peristiwa Bom Bali 2002, ketiga orang pamannya, Ali Ghufron alias Mukhlas, Amrozi, dan Ali Imron tertangkap polisi karena terlibat dalam serangan teror itu.
Baca juga Mereka yang Menemukan Jalan Kembali (Bag. 2)
Sumarno juga masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) karena diduga menyimpan amunisi dan bahan-bahan berbahaya. Ia tertangkap di salah satu daerah Jawa Timur dan harus menjalani hukuman tiga tahun penjara.
Merevisi pemahaman
Dari balik jeruji besi Sumarno mulai melihat kenyataan yang berbeda. Perlakuan aparat pemerintah, terutama polisi, yang sangat baik terhadapnya, membuatnya berpikir ulang tentang label ansharut thaghut yang disematkan kepada mereka.
Baca juga Mereka yang Menemukan Jalan Kembali (Bag. 3-Terakhir)
Pemikiran Sumarno perlahan berubah. Terlebih ketika dia menjenguk pamannya, Ali Imron, di penjara. Ia diperintahkan untuk berhenti dari segala kegiatan bersama kelompok ekstremis. Beberapa tahun berikutnya, ia dipertemukan sejumlah korban terorisme yang dihadirkan oleh AIDA ke Lamongan.
Ia merasa iba kepada para korban. Hatinya bergemuruh tatkala mendengarkan kisah-kisah korban yang terdampak ledakan. Bagi Sumarno banyak korban yang harus menerima tindakan tidak manusiawi. “Hati saya tersayat mendengar kisah para korban. Saya meminta maaf. Alhamdulillah beliau-beliau ini memaafkan,” ucap Sumarno.
Baca juga Keinsafan Mantan Napiter: Terlibat dan Tobat Karena Keluarga (Bag. 1)
Kini Sumarno terlibat dalam kampanye-kampanye perdamaian. Tentu ada penentangan dari teman-temannya yang masih berkutat dengan ekstremisme. Bersama dengan pamannya yang lain, Ali Fauzi Manzi, ia mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP), lembaga yang mewadahi mantan narapidana terorisme dan kombatan konflik yang ingin kembali kepada kehidupan normal. “Saya berkomitmen untuk menyebarkan perdamaian. Merawat ukhuwah merajut perdamaian,” katanya. [MSH]
Baca juga Keinsafan Mantan Napiter: Terlibat dan Tobat Karena Keluarga (Bag. 2-Terakhir)