Keinsafan Mantan Napiter: Terlibat dan Tobat Karena Keluarga (Bag. 1)
Aliansi Indonesia Damai- Kisah hidup seseorang kerap tidak berjalan lurus seperti penggaris dan mulus seperti jalanan sirkuit balapan. Sumarno alias Asadullah buktinya. Ia pernah terlibat dalam aksi-aksi kekerasan namun berubah drastis 180 derajat, berbalik menjadi aktor pembangunan perdamaian. Lika-liku kehidupan telah menyadarkannya bahwa setiap aksi kekerasan berdampak sangat buruk bagi korbannya.
Dalam salah satu kegiatan yang diselenggarakan AIDA, pria asal Lamongan Jawa Timur tersebut berbagi kisahnya bergabung dan meninggalkan kelompok kekerasan. Ketika masih kecil, Sumarno belajar di Sekolah Dasar Negeri. Ia pun berencana melanjutkan pendidikan di sekolah umum (non keagamaan). Namun dari hasil diskusi dengan keluarga, terutama paman-pamannya, Sumarno batal melanjutkan pendidikan umum. Keluarga memutuskan supaya dia fokus belajar agama.
Baca juga Dulu Meracik Bom Kini Meretas Damai
Siapa sangka sejak saat itu Sumarno mulai terjerumus ke dalam pemahaman-pemahaman ekstrem. Ia mulai mendapatkan doktrin untuk tidak berkompromi dengan pemerintah, karena bekerjasama dengan pemerintah dianggap sebagai salah satu bentuk penyimpangan agama.
Doktrin itu terus menguat seiring waktu. Dia juga pernah dibaiat sebagai anggota Jamaah Islamiyah (JI), bahkan sempat mengikuti pelatihan militer seperti map reading, taktik infantry, weapon training, hingga pembuatan bahan peledak.
Pada tahun 1999, pecah konflik komunal di wilayah Ambon Maluku dan Poso Sulawesi Tengah. Sumarno terlibat sebagai salah satu penyuplai senjata dan logistik dari Jawa yang digunakan oleh para kombatan di wilayah konflik itu.
Baca juga Kasih Sayang yang Tak Pantas Dinafikan
Sumarno melakukan itu dengan niat ingin menolong saudara-saudara muslim yang sedang terlibat konflik dan dizalimi. “Waktu itu saya didoktrin bahwa terjadi penindasan terhadap umat Islam, saya bersemangat untuk menyelamatkan saudara-saudara sesama muslim,” kenang pria 43 tahun.
Sumarno mengakui bahwa keterlibatannya dalam kelompok kekerasan lebih didorong oleh faktor keluarga dan pertemanan. Ia sendiri adalah keponakan dari Ali Imron, terpidana seumur hidup kasus bom Bali 2002 dan memiliki ikatan darah dengan sejumlah pelaku kekerasan lainnya.
Baca juga Tiga Pesan Damai Mantan Ekstremis untuk Generasi Muda
Sumarno sempat masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) kepolisian karena keterlibatannya dalam penyimpanan amunisi dan persenjataan. Dia tertangkap di Ngawi Jawa Timur, kemudian menjalani hukuman penjara di Lapas Lamongan.
Sumarno sempat meragukan keislaman para aparat negara, dan menganggapnya sebagai tentara thaghut. Namun di balik jeruji besi, dia justru diperlakukan sangat baik oleh teman-temannya yang berprofesi sebagai polisi. Dari mereka Sumarno mendapatkan dorongan dan support untuk berubah. Setelah menjalani hukuman selama 3 tahun, ia mendapatkan pembebasan bersyarat pada tahun 2005. (Bersambung)
Baca juga Mukhtar Khairi, Makin Mantap Meninggalkan Ekstremisme Setelah Bertemu Korban