Jalan Panjang Pemaafan Penyintas Bom
Aliansi Indonesia Damai- Nyaris semua luka meninggalkan bekas. Demikian pun luka Nanda Olivia Daniel, korban Bom Kuningan 2004. Terlebih ia mengalami cedera fisik sekaligus “luka” psikis. Butuh waktu bertahun-tahun baginya untuk “menemukan kembali” dirinya.
Akibat aksi pengeboman di depan kantor Kedubes Australia di Jakarta pada 9 September 2004 itu, ia harus menerima kenyataan bahwa tangannya mengalami disabilitas. Mimpi mengejar sarjana juga harus pupus lantaran proses pengobatan yang harus ia jalani bertahun-tahun. Belum lagi trauma psikis yang tak mudah pulih.
Baca juga Pemaafan dalam Keimanan
Kemarahan Nanda terhadap pelaku pengeboman tak mudah terkikis. Dendam dan amarah bertahun-tahun menghantui hidupnya. “Saya tidak bisa memilih takdir untuk tidak menjadi korban. Tapi pelaku pengeboman punya pilihan untuk tidak melakukan aksinya, untuk tidak berbuat jahat,” ujar Nanda mengenang gejolak batinnya dulu.
Ia bahkan pernah terperangkap pada stereotip bahwa orang-orang bercadar atau bercelana cingkrang adalah teroris. Bertahun-tahun ia memendam emosi negatif. Pada tahun 2015, bersama dengan sejumlah korban bom lain, Nanda dipertemukan dengan salah satu mantan pelaku terorisme yang telah bertobat, Ali Fauzi Manzi. Perjumpaan difasilitasi oleh AIDA.
Baca juga Ilham Perdamaian
Sebelumnya ia menyatakan siap bertemu dengan mantan pelaku terorisme. Namun saat berjumpa langsung dengan Ali Fauzi, batinnya kembali bergolak. Terlebih setelah Ali Fauzi menceritakan sepak terjangnya bersama kelompok ekstremisme. Dalam kesannya, Ali seperti merasa tidak bersalah.
Amarahnya memuncak ketika ia mendengar kisah rekan-rekannya yang senasib. Penderitaan mereka lebih menyakitkan. “Kalau saya tidak menghormati teman-teman yang ada di situ dan AIDA, mungkin saya sudah lempar gelas ke arah Pak Ali,” ucap Nanda mengingat pertemuan lima tahun silam.
Baca juga Korban Bom Kuningan Berdamai dengan Kenyataan
Nanda memutuskan tidak membagikan kisahnya. Ia sempat dibujuk oleh teman-temannya, namun sikapnya kukuh. Kemarahan itu membuat hidup Nanda justru tidak tenang. Ada yang salah dalam dirinya. Ia lantas berinisiatif melakukan konseling dengan psikolog secara rutin karena merasa butuh berdamai dengan diri sendiri.
Berbulan-bulan ia melakukan konseling dan perenungan. Setiap kali dipertemukan dengan Ali Fauzi dalam kegiatan AIDA yang lain, ia memilih menjaga jarak dan membuang muka. Sikap yang justru membuatnya “lelah”. Pada satu titik ia bertekad untuk memaafkan Ali Fauzi. “Bukan untuk beliau, tapi untuk diri saya supaya bisa berdamai dengan diri sendiri dan mengikhlaskan semuanya,” kata Nanda.
Baca juga Ketegaran Korban Bom Kuningan
Meski tak mudah, ia belajar mengikhlaskan semua yang telah terjadi. Nanda mulai merasa ada kelegaan dalam batinnya. Perlahan ia membuka diri. Kini dalam berbagai kesempatan, Nanda telah mengampanyekan perdamaian bersama Ali Fauzi.
“Semarah apa pun saya, nggak akan pernah mengembalikan tangan saya seperti semula. Saya yakin kekerasan yang dilakukan para teroris tidak akan ada gunanya jika saya balas dengan kekerasan,” ucap Nanda. [LADW]
Baca juga Berjuang untuk Sesama Korban Bom