21/02/2021

Tantangan Pertobatan Napiter

Aliansi Indonesia Damai – Keluar dari jaringan ekstremisme kekerasan bukanlah hal yang mudah. Tantangan para mantan pelaku ekstremisme bukan hanya perihal ideologi yang sifatnya internal dalam dirinya, mereka juga harus dihadapkan dengan persoalan eksternal. Setelah mendekam di penjara selama bertahun-tahun, mantan pelaku terorisme harus berusaha untuk bisa kembali diterima oleh lingkungannya.

Hal ini menjadi salah satu topik diskusi yang mencuat dalam Dialog Interaktif Virtual “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” yang dihelat AIDA di SMAN 1 Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, medio Februari lalu. Salah satu narasumber yang hadir adalah Choirul Ihwan, mantan narapidana terorisme, yang akrab disapa Irul. Kegiatan diikuti oleh 51 peserta secara daring.

Baca juga Pesan Perdamaian Siswa SMAN 1 Lawang

Kepada Irul, salah seorang peserta bertanya tentang proses pertobatan serta tantangannya saat memutuskan keluar dari jaringan ekstremisme kekerasan. Menurut dia, proses tersebut terjadi secara bertahap. Semua berawal ketika ia menyadari bahwa pemikiran ekstremnya adalah sebuah kesalahan.

Proses tersebut semakin menguat karena ia mendapatkan dukungan dari para petugas Lapas yang membinanya. Meskipun demikian, proses tersebut turut membawa konsekuensi yang tidak mudah. Ia menghadapi cibiran dari mantan teman-temannya di jaringan ekstremisme, bahkan dikafirkan.

Baca juga Menaruh Harapan di Pundak Remaja

“Mereka menganggap saya sebagai musuh yang lebih utama daripada aparat negara. Karena saya dianggap pengkhianat dan kemudian halal darah dan hartanya, serta lebih diutamakan. Hal itu beberapa kali saya terima. Dan saya berserah kepada Allah, karena ini memang konsekuensi yang harus saya terima,” ucapnya.

Ancaman tersebut tidak menyurutkan komitmen Irul, sebaliknya menguatkan niatnya untuk kembali ke jalan yang benar. Tekad itu semakin kuat lantaran lingkungannya, termasuk keluarga yang dulu ia kafirkan, mampu menerimanya dengan baik setelah ia bebas dari hukuman penjara. Bahkan tetangganya juga tetap bersikap baik kepadanya.

Baca juga Penyintas Bom Menginspirasi Siswa SMK Turen Malang

Sebelumnya Irul berkisah tentang awal perjalanan hidup sehingga membuatnya bergabung dengan kelompok ekstremisme kekerasan. Bahkan ia mengkafirkan keluarganya sendiri, termasuk orang tuanya. Pada akhirnya ia berhasil meninggalkan ekstremisme dan aktif menyuarakan perdamaian.

Salah satu peserta menanyakan tentang sistem perekrutan serta ciri-ciri kelompok tersebut agar dapat menghindarinya. Menanggapi pertanyaan tersebut, Irul menjelaskan bahwa perekrutan dilakukan dengan tanpa memberikan imbalan material, berupa uang atau lain sebagainya. Kelompok ekstrem memberikan iming-iming surga kepada mereka yang hendak bergabung. Bahwa kematian yang dirasakan ketika berperang tidak akan sakit dan justru akan disambut oleh 72 bidadari surga.

Baca juga Pesan Damai Kepala SMA Hasyim Asy’ari Batu

Menambahkan penjelasannya, Irul mengingatkan siswa-siswi agar waspada kepada mereka yang sering mengkafirkan negara dan orang lain, yang mana tindakan tersebut tidak dibenarkan dalam Islam. Namun, ia juga berpesan agar tidak langsung menjauhi orang seperti ini, melainkan tetap berusaha untuk mengajak mereka ke jalan yang benar.

“Kita tetap baik dan berusaha arahkan ke jalan yang benar. Kalau terlalu berat, kita bisa minta pertolongan kepada orang-orang yang mampu, semisal kiai atau yang memang terbiasa menangani orang-orang seperti itu,” ucapnya. [WTR]

Baca juga Cerdas Bermedia Sosial

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *