Home Wawancara Tantangan Perdamaian dalam Lapas
Wawancara - 24/07/2017

Tantangan Perdamaian dalam Lapas

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai pusat pembinaan narapidana, termasuk warga binaan pemasyarakatan (WBP) tindak pidana terorisme, kerap menghadapi banyak tantangan. Dengan segala keterbatasan, termasuk overkapasitas, Lapas berusaha seoptimal mungkin membina WBP kasus terorisme agar dapat meninggalkan jaringan kekerasan serta “kembali” ke masyarakat. Tiga pekan lalu redaksi Suara Perdamaian berkesempatan mewawancara Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, I Wayan Kusmiantha Dusak, untuk membahas tantangan perdamaian di dalam Lapas. Berikut petikan wawancaranya:
Apa saja tantangan yang dihadapi Ditjen Pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan terhadap WBP kasus terorisme?
WBP teroris meskipun kecil dari segi jumlah tapi pembinaannya menjadi perhatian pemerintah bahkan internasional karena masalah ini menyangkut ideologi yang dampaknya menyasar banyak negara.
Kendala pembinaan WBP teroris ada tiga, dari sisi petugas Lapas, dari WBP, dan dari perundang-undangannya. Dari sisi petugas, kita tidak dibekali dengan ilmu pengetahuan yang cukup untuk membina WBP teroris. Lalu, mestinya ada Lapas khusus untuk membina WBP teroris sebab mereka kan dianggap berisiko tinggi, dikhawatirkan bisa menyebarkan ideologinya ke WBP lain. Karena segala keterbatasan, kita sebar WBP teroris ke banyak Lapas. Ini juga masalah lagi.
Dari sisi WBP kita mengenal mereka itu ada empat kategori, yaitu ideolog, militan, pengikut, dan simpatisan. Menghadapi WBP teroris yang ideolog tentu membutuhkan pendekatan berbeda dari WBP yang terjebak terorisme hanya karena ikut-ikut saja. Untuk menangani ini kan perlu regulasi bagaimana sistem yang dikembangkan untuk membina mereka. Saya tidak tahu persis draf revisi UU Terorisme yang sekarang sedang dibahas itu akan seperti apa tapi melalui rapat dengan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme saya mengusulkan ada satu pasal tentang perlunya perlakuan khusus terhadap WBP teroris. Artinya, aturan hukum harus jelas untuk memutus akses mereka baik dengan yang di dalam Lapas maupun yang di luar. Menurut saya penting untuk membuat sistem pembinaan tidak hanya di dalam Lapas tapi juga setelah mereka di luar.
Beberapa kritikan diarahkan ke Ditjen Pemasyarakatan bahwa pembinaan WBP teroris di dalam Lapas tidak efektif dibuktikan dengan adanya beberapa aksi teror yang dilakukan oleh mantan WBP teroris yang telah bebas. Bagaimana tanggapan Bapak?
Kita harusnya menghitung yang sudah bebas itu berapa, yang melakukan lagi itu berapa. Dalam melakukan evaluasi itu ada dua hal. Pertama, metode yang diterapkan kepada mereka selama pembinaan di Lapas seperti apa. Apakah sudah ada? Selama ini kita melakukan pembinaan masih secara umum saja seperti narapidana lainnya, tidak ada pembinaan khusus kepada WBP teroris. Di dalam UU Pemasyarakatan itu pembinaan ada dua, yaitu kemandirian dan kepribadian. Dua ini harus berjalan simultan. Selain dibina agar bisa mandiri juga harus bisa mengubah pola pikir dan perilaku. Perubahan perilaku ini harus dibarengi dengan kemampuan yang terkait dengan perekonomian agar kalau sudah kembali ke masyarakat proses reintegrasinya itu berjalan baik.
Sekarang kenapa mereka mengulangi aksi teror lagi setelah keluar Lapas? Yang paling dasar, itu kan tergantung manusianya sendiri. Penjara itu bukan tempat untuk mengubah orang menjadi baik. Artinya, tidak ada jaminan kalau orang masuk penjara itu tidak akan mengulangi kejahatan. Paling tidak, metode pembinaan kepada WBP itu sudah dilaksanakan, kalau dia kembali seperti itu ya kembali ke manusianya itu sendiri. Tidak ada di dunia ini di negara mana pun orang melakukan kejahatan terus seratus persen tidak akan jadi residivis, itu tidak ada. Yang bisa kita lakukan adalah menekan persentase narapidana melakukan kejahatannya lagi. Sudah berapa narapidana yang diturunkan ke dunia ini toh masih ada juga orang melakukan kejahatan. Sudah berapa WBP teroris yang diturunkan di dunia ini toh masih ada juga aksi teror.
AIDA telah menjalin kerja sama dengan Ditjen Pemasyarakatan dengan mengenalkan perspektif korban terorisme kepada petugas Lapas. Apa kelebihan dan kelemahannya, dan apa yang perlu ditingkatkan dari kerja sama selama ini?
Saya melihatnya dengan berpikir positif bahwa orang membantu pasti tujuannya baik. Kalau dengan AIDA sendiri sebenarnya sudah berjalan sesuai yang kita harapkan. Hanya saja untuk mendukung bahwa ini memang menjadi suatu yang bermanfaat khususnya kepada WBP teroris dan Lapas, perlu kita pikirkan seperti apa tolok ukur keberhasilannya. Mungkin kita belum bisa mengatakan WBP ini sudah menjadi baik, tapi paling tidak kita tahu dari sejumlah WBP teroris yang ada, berapa yang sudah dilakukan pendekatan melalui metode yang dimiliki AIDA, misalnya.
Dari kerja sama yang sudah berjalan ini menurut saya perlu ditindaklanjuti dengan menyusun dokumen ukuran-ukuran keberhasilannya. Artinya, ada semacam panduan pembinaan WBP teroris lengkap dengan kategorisasinya. Dari pengalaman AIDA metode ini cocok dan efektif digunakan untuk pembinaan WBP teroris dengan tipikal ini, misalnya. Dari situ kita bisa tahu keberhasilan kerja sama selama ini. Kalau program kerja sama yang sekarang kan sedang berjalan, kita masih perlu melakukan evaluasi sebelum mengetahui tingkat keberhasilannya sejauh apa. [MLM]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *